Membidik Atmosfer Bernegara; Jalan Terjal Demokrasi Indonesia

  • Bagikan
Fanli Mandalika (foto ist)

Penulis: Fanli Mandalika (Pegiat Literasi HMI MPO Manado)

Di tengah gempuran isu yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu antara tanggal 11-12 April 2022, kita seolah menjadi korban sekaligus pelaku untuk situasi yang patut di pertanggungjawabkan di Negara ini. Di satu sisi aspirasi mahasiswa yang turun ke jalan dibenturkan dengan opini publik yang cenderung melihat hal ini (demonstrasi) sebagai perkara ketimpangan, di sisi lain sebagai keniscayaan untuk melihat Indonesia tetap sehat dari pelbagai macam sisi. Mungkin proposisi ini tepat sebagai pengantar untuk alinea-alinea berikutnya.

Kita mulai dengan membidik apa yang menjadi penyebab sehingga mahasiswa turun ke jalan. Di Indonesia pada 11-12 April 2022, aksi unjuk rasa terjadi dibanyak wilayah, tidak terkecuali dengan Provinsi Sulawesi Utara. Pada 11 April 2022 terbentuk suatu perkumpulan yang kemudian dinamai dengan Aliansi Sulut Bergerak untuk wilayah Sulut. Dan berbagai macam nama untuk perkumpulan mahasiswa di wilayah lain. Dan pada prinsipnya, semua menuntut agar ada penyelarasan hak dan kewajiban, peran serta tugas pemerintah, dan kemungkinan masyarakat untuk tidak selalu menjadi kambing hitam untuk tumbal sosial, politik, ekonomi, hukum, dan masih banyak lagi.

Keadaan ini harus dinilai sebagai timbal balik yang sudah semestinya diterima oleh pemerintah demokrasi. Tidak ada pujian yang patut diucapkan ketika pemerintah hendak menyambung aspirasi dari mahasiswa ataupun masyarakat secara luas. Sebab sudah merupakan tugas mereka untuk menyelaraskan atmosfer bernegara. Justru dengan mengkritik adalah tindakan penyelamatan yang diberikan masyarakat kepada pemerintah.

Jika kita membaca situasi Negara Indonesia hari ini, sebenarnya kita semua diingatkan dengan situasi pikiran Thomas Hobbes sekitar abad ke-17. Dimana Negara haruslah seperti Leviathan, yang dalam mitologi Yunani kuno berarti mahluk buas, ditakuti dan mampu menaklukan. Sehingga pada prinsipnya masyarakat akan merasa terikat dan diempu oleh negara. Namun dewasa ini, kondisi semacam itu mutlak irasional jika kita mengumumkan diri sebagai Negara demokrasi. Premis Negara demokrasi ini kemudian menuntun setiap warga negara untuk bertindak konstitusional kala terdapat gelagat inkonstitusional dari pemerintah itu sendiri.

Kedewasaan masyarakat Indonesia hari ini dalam menilai kebijakan dan arah gerak Pemerintah berada pada taraf studi perbandingan kinerja dari berbagai studi kasus. Sudah semestinya pemerintah tidak menutup telinga ketika khalayak umum menyuarakan keberatan yang substantif.

Akhir kata, kolektivitas bernegara dalam mengamalkan doktrin demokrasi sekiranya membentuk suatu peradaban yang adil makmur. Suatu kondisi yang patut dijadikan sandaran untuk eskalasi negara paripurna.(*)

  • Bagikan