actadiurna.id – Setelah disahkannya UU TNI, kemarahan rakyat tidak bisa reda karena isu RUU POLRI yang dianggap bermasalah disebutkan akan disahkan oleh DPR-RI. Kekecewaan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disebabkan oleh absennya tanggapan dari lembaga yang seharusnya merepresantasikan suara rakyat. DPR dianggap tidak lagi memedulikan suara rakyat, hal ini merupakan implikasi dari keberhasilan penyesahan UU TNI, padahal gegap gempita demonstrasi dan lantang protes masyarakat di berbagai daerah senantiasa terdengar.
Gelombang demonstrasi masih dilakukan di banyak daerah sebagai upaya lanjutan tuntutan membatalkan UU TNI dan menuntut DPR untuk tidak mensahkan RUU Polri yang dalamnya kontroversial sebab memperluas cakupan kekuasaan Polri di tengah tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri yang wajar bila melihat rekam jejak kerja polisi Indonesia yang tercemar dengan banyaknya kasus pidana yang dilakukan oleh personil dari lembaga penegak hukum tersebut.
Penolakan terhadap RUU POLRI dilandasi buruknya hubungan masyarakat dan polisi akibat metode pendekatan yang tidak mencerminkan identitas mereka sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, yang sudah seharusnya berwatak sipil dan bukan militer. Ketidakharmonisan hubungan ini karena rakyat dipertontonkan perilaku anarkis aparat kepolisian dalam pengendalian massa dan konflik. Bahkan dalam demonstrasi penolakan UU TNI, tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian dan bahkan ini terjadi setelah berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan anggota polisi. Sementara rakyat tidak kunjung melihat upaya pemulihan citra yang nyata dilakukan oleh lembaga kepolisian Republik Indonesia, sehingga penolakan terhadap RUU Polri lantang digaungkan.
Dalam mengkaji fenomena penolakan RUU Polri, ada banyak faktor yang harus dianalisis dan untuk mengerti alasan dari hadirnya revisi undang-undang Polri bisa dilakukan dengan pertama-tama mengkaji naskah akademik dari revisi undang-undang ini.
Naskah Akademik merupakan dokumen fundamental yang dirancang untuk menjadi pedoman dalam penyusunan kebijakan kepolisian di Indonesia. Seharusnya dalam setiap perubahan undang-undang yang dirancangkan itu sesuai dengan isi naskah akademik yang telah disusun. Dalam naskah akademik revisi undang-undang polisi Republik Indonesia sudah tertuang bahwa semua kerja kepolisian harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Namun, keberadaan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) justru menimbulkan berbagai permasalahan serius yang berpotensi menggerus kebebasan sipil, membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan aparat kepolisian, dan mengancam hak asasi manusia.
Dalam kajian ini, kita akan membahas pasal-pasal dalam RUU Polri yang bermasalah, menguraikan ketidaksesuaian antara RUU tersebut dengan Naskah Akademik Polri, serta menghubungkannya dengan berbagai kasus nyata pelanggaran HAM yang telah terjadi di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengungkap sejauh mana dampak dari pemberian kewenangan yang berlebihan kepada Polri terhadap masyarakat sipil dan sistem hukum nasional.
Ketidaksesuaian dalam RUU Polri dengan Naskah Akademik Polri
1. Pengawasan dan Pemblokiran Ruang Siber Tanpa Mekanisme Akuntabilitas yang Jelas: Pasal 14 (b) dan Pasal 16 (q) dalam RUU Polri memberikan kewenangan luas kepada Polri untuk melakukan pembinaan, pengawasan, serta pemblokiran atau perlambatan akses ruang siber dengan alasan keamanan nasional. Naskah Akademik Polri secara eksplisit menyebutkan bahwa kepolisian harus bekerja dalam koridor prinsip demokrasi dan tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara. Namun, pasal ini berpotensi dijadikan alat untuk membatasi kebebasan berekspresi dan menyensor informasi yang dianggap mengancam kepentingan elit politik.
- Kasus Terkait: Pada 2019, pemerintah melalui Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memutus jaringan internet di Papua dan Papua Barat dengan alasan keamanan nasional. Tindakan ini dinilai sebagai upaya membungkam informasi terkait pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah tersebut.
- Kasus Tambahan: Pemblokiran situs berita dan akun media sosial yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu contohnya adalah pemblokiran laman berita independen yang melaporkan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
2. Penyadapan Tanpa Pengawasan Lembaga Independen yang Berpotensi Menyalahgunakan Wewenang: Pasal 14 (o) mengatur bahwa Polri memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam lingkup tugasnya tanpa memerlukan izin dari lembaga independen atau perintah pengadilan. Naskah Akademik Polri menegaskan bahwa penyadapan harus dilakukan dengan mekanisme pengawasan ketat guna mencegah penyalahgunaan. Namun, pasal ini membuka peluang besar bagi aparat untuk menyadap individu tanpa dasar hukum yang jelas, mengancam hak atas privasi dan kebebasan berbicara.
- Kasus Terkait: Dalam berbagai laporan, aktivis HAM dan jurnalis investigatif mengalami penyadapan ilegal yang mengarah pada intimidasi dan ancaman. Beberapa di antaranya bahkan mengalami serangan digital dan peretasan akun pribadi mereka.
- Kasus Tambahan: Dugaan penyadapan terhadap akademisi yang menyuarakan kritik terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah, yang diikuti dengan ancaman terhadap mereka secara langsung maupun melalui keluarga mereka.
3. Wewenang Intelkam Polri yang Tidak Transparan dan Rentan Penyalahgunaan Informasi: Pasal 16A dan Pasal 16B dalam RUU Polri memberikan kewenangan besar kepada Polri untuk mengumpulkan informasi, termasuk pemeriksaan aliran dana individu atau kelompok, tanpa mekanisme transparansi yang jelas. Naskah Akademik Polri menegaskan bahwa kegiatan intelijen harus dilakukan dengan batasan hukum yang ketat serta diawasi oleh lembaga yang berwenang guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
- Kasus Terkait: Pemantauan ketat terhadap rekening aktivis HAM dan LSM dengan dalih keamanan nasional. Hal ini menyebabkan ketakutan di kalangan aktivis karena mereka dapat dicap sebagai ancaman hanya karena menjalankan advokasi hak asasi manusia.
- Kasus Tambahan: Pemblokiran rekening organisasi lingkungan yang aktif mengkritik proyek tambang dan deforestasi oleh perusahaan yang memiliki hubungan dengan aparat kkeamanan.
4. Definisi Kepentingan Nasional yang Ambigu dan Berpotensi Membungkam Kritik: Pasal 1 (9) dalam RUU Polri mendefinisikan “kepentingan nasional” secara luas dan ambigu, sehingga dapat dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berekspresi serta menekan gerakan sipil yang sah.
- Kasus Terkait: Kriminalisasi mahasiswa yang menyuarakan aspirasi mereka melalui aksi demonstrasi, yang sering kali dikategorikan sebagai ancaman terhadap ketertiban umum.
- Kasus Tambahan: Pembubaran paksa diskusi publik mengenai demokrasi dan HAM dengan dalih mencegah potensi kerusuhan, meskipun diskusi tersebut diselenggarakan secara damai dan akademis.
Pelanggaran HAM yang Semakin Marak Akibat Penyalahgunaan Wewenang Polri
1. Represi terhadap Jurnalis dan Media Independen: Kewenangan luas dalam pengawasan ruang siber dan penyadapan menyebabkan banyak jurnalis dan media independen mengalami intimidasi serta serangan digital.
- Kasus Terkait: Beberapa jurnalis yang melaporkan kasus korupsi dan pelanggaran HAM oleh aparat mengalami ancaman fisik serta peretasan akun mereka.
- Kasus Tambahan: Penutupan situs berita yang kritis terhadap pemerintah tanpa alasan hukum yang jelas, menghambat kebebasan pers di Indonesia.
- Kasus Terbaru: Pada Januari–November 2024, Amnesty International Indonesia mencatat 29 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan polisi serta 26 kasus penyiksaan di berbagai provinsi, termasuk Papua, Sumatera Utara, Riau, dan Banten
2. Kriminalisasi Aktivis dan Pembungkaman Gerakan Sipil: Dengan semakin luasnya kewenangan intelijen Polri, banyak aktivis dan organisasi masyarakat sipil mengalami kriminalisasi.
- Kasus Terkait: Penangkapan aktivis lingkungan yang menentang proyek pembangunan yang merusak lingkungan dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan berita bohong.
- Kasus Tambahan: Penghilangan paksa aktivis yang memperjuangkan hak-hak buruh, di mana kasus mereka hingga kini masih belum mendapatkan keadilan.
- Kasus Terbaru: Pada Agustus 2024, polisi menggunakan kekerasan berlebihan dalam membubarkan demonstrasi mahasiswa di Semarang, menyebabkan puluhan luka-luka dan beberapa ditangkap tanpa alasan jelas
3. Penyalahgunaan Kewenangan untuk Mengontrol Kebebasan Sipil: Polisi sering kali digunakan untuk membubarkan aksi damai dengan alasan ketertiban umum, meskipun aksi tersebut tidak mengandung unsur kekerasan.
- Kasus Terkait: Penggunaan gas air mata dan kekerasan terhadap demonstran yang menuntut keadilan sosial, menyebabkan korban luka dan bahkan kematian dalam beberapa insiden.
- Kasus Terbaru: Pada April 2024, polisi membubarkan paksa demonstrasi damai di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Papua, disertai intimidasi terhadap para demonstran.
RUU Polri dalam bentuknya yang sekarang memperkuat kewenangan Polri tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, tanpa ada parameter yang jelas, dan definisi yang jelas. Jika tidak direvisi dengan cermat, maka pelanggaran HAM yang telah masif terjadi hanya akan semakin meningkat dan menjauhkan Indonesia dari prinsip demokrasi, serta keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Penguatan yang tidak wajar di area yang kabur membuat lembaga kepolisian nantinya rentan untuk disusupi dengan kepentingan pribadi dan mudah menjadi alat bagi penguasa dalam mengendalikan masyarakat.
Bila revisi undang-undang Polri dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat, maka agaknya RUU ini tidak diperlukan karena telah gagal dalam memahami kemauan masyarakat.
Pemulihan kepercayaan seharusnya menjadi prioritas untuk dilakukan, disaat sentimen negatif masih melekat di institusi ini, bukan sebaliknya membatasi kebebasan sipil dan mengancam hak asasi manusia Indonesia.
Oleh Acta diurna
Penulis: Dimas Palandeng, Amadea Parengkuan, Carol Tuerah.