Perguruan tinggi adalah tempat atau wadah untuk mengasah keilmuan dan kekritisan setiap individu. Namun, saat ini, wadah tersebut justru marak dengan penyimpangan yang bertujuan mencari kemudahan dalam berbagai aspek secara instan, baik secara sukarela maupun dengan paksaan. Salah satu bentuk penyimpangan tersebut adalah gratifikasi atau pungutan liar (pungli). Gratifikasi merupakan pemberian sesuatu kepada seseorang, sedangkan pungli adalah tindakan meminta sesuatu dari seseorang. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, atau jasa, sedangkan pungli umumnya berupa uang atau jasa.
Dikutip dari buku pedoman Mengenal Gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi sendiri merupakan suap yang tertunda atau biasa disebut sebagai “suap terselubung.” Ketika seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara terbiasa menerima gratifikasi yang dilarang, mereka dapat terjerumus ke dalam bentuk korupsi lainnya, seperti suap, pemerasan, dan pelanggaran korupsi lainnya. Oleh karena itu, gratifikasi dianggap sebagai akar dari perilaku korupsi.
Fajar (2002) menyebutkan bahwa korupsi terjadi dalam tiga wilayah besar, yaitu:
- Mercenary abuse of power, seperti suap dan mark-up;
- Discretionary abuse of power, yakni kewenangan istimewa dalam mengeluarkan kebijakan;
- Ideological abuse of power, yaitu penggunaan kewenangan dengan mengharapkan kompensasi.
Faktor internal yang memicu korupsi meliputi lemahnya moral, kurangnya keimanan, rendahnya kejujuran, serta perilaku konsumtif. Sementara itu, faktor eksternal berasal dari rangsangan lingkungan (Sarwono).
Salah satu teori yang menjelaskan fenomena ini adalah fraud triangle, yang dikembangkan oleh Cressey pada tahun 1953. Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga kondisi utama yang mendorong seseorang melakukan kecurangan, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi). Dalam banyak kasus, faktor rasionalisasi sering menjadi pemicu utama gratifikasi dan tindakan korupsi.
Di lingkungan kampus, tindakan antikorupsi mahasiswa dapat ditunjukkan melalui kedisiplinan dalam menghadiri perkuliahan, tidak menyuap dosen, mengerjakan tugas sesuai peraturan, dan menghindari segala bentuk gratifikasi. Gratifikasi yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan tertentu merupakan indikasi perilaku koruptif. Pada dasarnya, gratifikasi adalah bentuk pemberian yang bisa berkembang menjadi suap yang tertunda.
Berdasarkan teori di atas, gratifikasi telah menjadi kebiasaan dalam dunia perkuliahan, di mana terjadi hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. Beberapa orang bahkan menaikkan standar gratifikasi dengan dalih “timbal balik” atau “ungkapan terima kasih.” Namun, tidak semua mahasiswa dapat menerima kondisi ini. Banyak mahasiswa merasa tertekan karena tidak semua memiliki kondisi ekonomi yang baik. Standar tak tertulis yang sudah ada membuat mahasiswa dengan keterbatasan finansial merasa terbebani.
Seperti pepatah yang mengatakan, “Tidak ada asap kalau tidak ada api,” setiap kejadian pasti memiliki alasan. Oleh karena itu, marilah kita berusaha menjaga dunia perkuliahan dengan menghindari segala bentuk transaksi berupa uang, barang, atau jasa di luar kewajiban akademik, baik antara mahasiswa maupun antara mahasiswa dan dosen, yang bertujuan untuk memperoleh kemudahan tertentu.
Seperti yang dikatakan Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” Maka dari itu, pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan pikiran serta tenaga, bukan nominal tertentu yang harus dikeluarkan. Jika penyimpangan ini dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan yang merugikan masyarakat akademik, terutama mahasiswa. Tidak semua orang memiliki kondisi ekonomi yang sama, dan gratifikasi tidak menentukan apakah seseorang benar-benar memperoleh ilmu atau tidak dalam dunia perkuliahan.
Oleh: Ronny Yaeltha