Mahasiswa yang dikenal sebagai insan yang memiliki ilmu lebih dalam, dibarengi dengan pemikiran yang mampu menganalisa itu memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas akhir yang sering kita dengar, yakni skripsi. Skripsi adalah karya ilmiah yang dibuat dengan melatarbelakangi suatu masalah yang diteliti, tentunya ini membutuhkan bimbingan dari para dosen yang telah lebih dahulu melewati tahapan penelitian, pembuatan karya ilmiah dan sudah berpengalaman.
Memberikan bimbingan adalah salah satu tanggung jawab dosen yang merupakan tenaga pengajar di dunia perkuliahan, dan dari bimbingan inilah tentunya dapat membuat mahasiswa mencetak atau menghasilkan suatu penelitian yang diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat. Sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian. Ini yang membuat mahasiswa disebut maha daripada siswa, karena proses yang dilalui lebih berliku dari siswa di bangku sekolah.
Dalam penyelesaian skripsi yang membutuhkan bimbingan para dosen, sudah selayaknya dosen memberikan evaluasi dan pengarahan kepada anak bimbingnya. Dosen yang memberikan ilmu dan pengalamannya untuk membentuk sang anak didik merupakan suatu tugas dan pekerjaan yang mulia dan layak disebut ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ karena ilmu yang diberikan itu, saya rasa tidak ada harga yang setara untuk membalaskannya. Semua bisa saja dinilai, tapi tidak dengan ilmu, pengalaman, dan nashat yang membuat kita dapat lebih berkembang dan nantinya dapat merealisasikan motto Sam Ratulangi “Sitou Timou Tumou Tou” yang bila diartikan : manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain. Inilah alasan kenapa saya berpendapat bahwa itu pekerjaan yang mulia.
Benar, sangat mulia bila dijalankan tapi sangat disayangkan masih ada beberapa mahasiswa yang tidak percaya dengan hasil tulisannya sehingga lebih memilih memberikan sebuah ‘tanda kasih’ kepada dosen dan lebih disayangkan juga kalau dosen tersebut tidak menentang tapi menerima. Hal yang sudah dianggap sebagai tabiat ini membuat mahasiswa berpendapat bahwa saat ingin mengajukan proposal harus punya uang lebih, tak jarang saya dengar bahwa ada mahasiswa yang sampai terjerat pinjaman online (pinjol) karena terbebani tabiat ini. Banyak pendapat bahwa bila tidak membayar maka akan dipersulit, tapi sebenarnya ini kembali lagi kepada rasa percaya diri dan yakin akan tulisan sendiri. Jika itu ada, semestinya kita akan dapat menjawab pertanyaan seputar tulisan tersebut.
Sangat sayang bila ilmu yang digeluti selama kurang-lebih 4 tahun itu kelulusannya harus berpatokan dengan nominal amplop yang diselipkan. Solusi yang dapat diberikan disini adalah kampus harus memberikan tenaga pendidik yang terbaik sehingga semasa perkuliahan mahasiswa bisa mendapat ilmu yang dibekali dari sang dosen dan bersamaan juga dengan mahasiswa yang harus fokus menyelami ilmu yang diberikan selama jam kelas, juga harus berprinsip “jangan hanya kejar IPK-nya, tapi ilmunya” karena nilai IPK tinggi juga harus dipertanggungjawabkan agar ketika ditanya, kita dapat menjawab dan menyalurkan ilmu tersebut.
Solusi selanjutnya adalah gaungan keras dari kampus yang menolak gratifikasi, bukan hanya imbauan tapi juga pemantauan apakah itu masih ada atau tidak. Dari hal ini bisa diharapkan agar mahasiswa benar-benar mempersiapkan karya penelitian dan serius mendalami saat maju sidang, bukan hanya merasa aman karena sudah memberikan sesuatu barang atau nominal uang yang diselipkan untuk membujuk agar mudah diluluskan. Seperti contoh salah satu instansi yang sudah dengan keras menggaungkan tolak gratifikasi dengan memasang banner beberapa titik, tapi tampaknya masih banyak yang menutup mata soal ini.
Banyak yang beranggapan bahwa itu adalah balas kasih, tapi tidak sedikit juga yang berucap seperti itu, padahal ada ‘udang dibalik batu’ ketika memberi. Untuk itu, mari melatih kepenulisan kita dimulai dari menyalurkan ide ataupun pemikiran ke dalam sebuah cerita harian, artikel, ataupun notes di handphone/gadget. Mendalami dengan sering membaca agar banyak diksi yang diketahui dan tidak menutup diri untuk mencoba mengikuti lomba menulis sebagai pengalaman dan evaluasi. Berharap penuh, tabiat ini dapat pelan-pelan dihilangkan dan tidak ada lagi amplop selipan dibalik sebaran undangan sidang.
Oleh : Jessicha Dien