actadiurna.id – Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Swaradika Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fispol) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menggelar diskusi bertajuk “Bagaimana Sarinah Melawan Seksisme?”, Senin (16/05/2022) melalui live Instagram.
Andini Choirunnisa selaku moderator dalam diskusi ini memaparkan latar belakang dilaksanakannya diskusi karena eksistensi seksisme yang terus menghantui dan keberadaanya masih langgeng di tengah masyarakat.
“Diskusi ini dilaterbelakangi eksistensi seksisme itu yang terus menghantui, pun keberadaannya yang masih langgeng di lingkungan masyarakat. Seksisme ini tidak lain sebagai langkah melanggengkan ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat,” ujar Sarinah yang kerap disapa Aco tersebut.
Sementara, sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Rayla Kusrorong S.IP., M. Hub. Int. selaku Ketua Kompartemen Sarinah dan Anak Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan alumni (PA) GMNI menjelaskan bahwa seksisme identik dengan superior yaitu laki-laki dan inferior yaitu perempuan.
“Seksisme sederhananya adanya superior dan inferior, jenis kelamin tertentu yang dianggap lebih dari jenis kelamin lainnya. Contohnya laki-laki disebut sebagai kaum superior dan perempuan disebut sebagai kaum inferior, intinya seksisme adalah diskriminasi, stereotype bersadarkan gender dan banyak dialami oleh perempuan,” ujar Rayla.
Ia melanjutkan, “Contoh real dari seksisme yaitu catcall yang biasnya terjadi di sekitar kita dan pada umumnya terjadi pada perempuan, perempuan yang selalu dilihat dari sisi seksual, misalnya dari cara berpakaian perempuan yang terbuka selalu dianggap salah, perempuan selalu dianggap lemah dan tidak berdaya,” ujarnya.
Menurutnya ada dua hal yang menjadi kontra dari praktek seksisme, yaitu terjadi karena budaya dan pandangan religius.
“Menurut saya ada dua hal yang menjadi kontra dari seksisme, yaitu terjadi secara budaya contohnya pertanyaan tentang kapan akan menikah, perempuan harus menikah dibawah umur 25 tahun, setelah menikah harus punya anak, setalah itu menggunakan kontrasepsi dan melayani suami dan secara religius ada agama yang melarang perempuan harus bekerja atau berkativitas lebih,” ungkapan Sarinah itu.
Ia melanjutkan penjabaran pada contoh perlawanan yang bisa perempuan lakukan terhadap praktek seksisme dengan melepas kereligiusan.
“Kita bisa mengatakan bahwa gender itu bukan hanya ada perempuan, jika belum ingin menikah kita bisa mengatakan kalau kita masih ingin berkarir dan jika tentang religius kita harus berpandangan terbuka, jadi jika kita masih terikat dengan kereligiusan, pemikiran untuk melawan seksisme ini tidak akan ketemu. Jadi jika membahas seksisme secara ilmiah kita harus melepas kereligiusan kita,” jelasnya.
*Ia mengaskan bahwa bisa dan harus ditanamkan dalam diri seorang perempuan.
“Sebagai perempuan kita harus menanamkan pada diri kita terkait perbedaan antara ‘bisa dan harus’. Bisa dan harus adalah dua hal yang berbeda, saya bisa menikah tapi tidak harus, saya bisa punya anak tapi tidak harus, saya bisa pakai kontrasepsi (KB) tapi tidak harus, karena perempuan dan laki-laki bisa memakainya, bukan hanya perempuan,” tegasnya.*
Diskusi ini berlangsung interaktif dari pukul 20:00-21:00 WITA melalui live instagram akun @gmni_swaradika.
Reporter : Ekleysia Werot