Gender Equality and Pop Culture : Seksisme Perempuan di Media Sebagai Objek Seksual

  • Bagikan
Novia Wen-wen Kalengkongan (foto ist)

Penulis : Novia Wen-wen Kalengkongan

Kesetaraan Gender (Gender Equality) merupakan konsep yang dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama. Dengan merujuk pada Deklarasi ini, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mencantumkan istilah “hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan” dan “kesetaraan hak laki-laki dan perempuan”.

Budaya Populer (Pop Culture) adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Menurut Ben Agger, sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam Burhan Bungin, 2009: 100).

Perkembangan media di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dunia cetak perlahan-lahan mulai beralih ke dunia digital dan elektronik. Namun, media massa banyak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan dimana tampilan audio dan visual atau tontotan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi industri hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. (Kellner hal? dalam Yayan, 2005: 3).

Gambaran perempuan dalam media telah mendapatkan sorotan dari berbagai macam kajian. Dalam penelitian pada media di barat maupun di Indonesia sendiri menunjukkan hasil yang relatif konsisten bahwa perempuan yang ideal adalah pasif, berada dalam lingkungan domestik dan biasanya cantik. Di samping itu adanya beberapa studi bahwa perempuan digambarkan sebagai objek kenikmatan seksual yang terutama ditujukan pada konsumen laki-laki. Nilai-nilai dan sikap-sikap budaya terhadap perempuan tidak saja merasuki keluarga, tetapi juga pada masyarakat secara luas. Salah satunya model pemerasan sebagai proses sosialisasi yang terpenting dalam masyarakat adalah media massa menjadi alat sosialisasi yang sangat ampuh. Seks dan kekerasan merupakan bagian utama film-film dan program-program TV yang bisa dijual. Iklan tidak saja menjadikan perempuan sebagai komoditas, tetapi juga memotret perempuan dalam gaya-gaya yang tidak senonoh, dan sikap perempuannya yang sangat penurut. Berbagai media massa cenderung memotretkan kaum perempuan dalam peran-perannya dimana mereka diremehkan atau didefinisikan secara sempit, karenanya membawa kepada “analisis simbolik” perempuan oleh media. Di lain pihak mereka kaum laki-laki biasanya dipotretkan dalam peran-peran status tinggi di dalam mendominasi perempuan (Lemon dalam Margaret, 1983: 214).

Gambaran perempuan sebagai objek seksual, hampir tidak pernah berubah. Penampilan terhadap perempuan sebagai sang penggoda ketimbang sebagai yang digoda. Dalam hal ini, adanya image masyarakat bahwa tanpa perempuan seksi tidak akan berlangsung proyek desakralisasi seks yang dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat konsumtif yang boros dan mengejar kepuasan belaka (Armando, 1998: 160).

Media mewadahi adanya anggapan tersirat sebagian masyarakat, bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan yang ditayangkan di media seringkali memposisikan perempuan sebagai objek, dalam artian perempuan sering dilihat dari kulitnya (tampilannya) bukan isinya (kemampuannya). Laki-laki selalu saja menjadi subjek, sedangkan penggambaran perempuan sebagai objek pemuasan diri laki- laki.

Tampilan perempuan dalam media dengan memperlihatkan bentuk tubuh yang menarik bagi kaum laki-laki, tidak lain bagian dari tujuan kapitalisme yang semata-mata untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebagian perempuan menyadari hal tersebut, namun sebagian lain tidak menyadarinya, bahkan menganggap hal tersebut sebagai suatu kewajaran. Tampilan dalam media selalu menggambarkan sesuatu yang idealitas, tanpa melihat kemudhratan untuk masyarakat secara umum .

Seksisme media membuat perempuan menjadi korban. Perempuan menjadi ikon industrialisasi media yang dapat menghasilkan keuntungan banyak. Di sisi lain, seksisme perempuan di media menunjukkan potret realitas sosial dan budaya perempuan yang memang belum menggembirakan.

Realitas ini semakin mempertegas asumsi tentang rendahnya kesadaran gender para pengelola media massa serta terbatasnya visi dan misi mereka tentang Kesetaraan Gender.

“Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Aduh, berilah izin untuk membuktikannya. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia seperti laki-laki.”

Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya*

  • Bagikan