Digital Gotong Royong: Reinkarnasi Persatuan Pemuda di Era Siber

  • Bagikan

Sembilan puluh tujuh tahun telah berlalu sejak para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Ikrar itu bukan sekadar seruan politik, melainkan revolusi identitas bahwa Indonesia lahir dari keberagaman yang bersatu oleh cita-cita. Kini, hampir satu abad kemudian, medan perjuangan pemuda bergeser dari medan fisik ke ruang digital. Jika dulu bambu runcing menjadi senjata, kini gawai dan jaringan internet adalah alat perjuangan baru. Namun, era digital menghadirkan paradoks: teknologi yang menyatukan dunia justru dapat memecah bangsa. Polarisasi sosial, ujaran kebencian, dan misinformasi tumbuh subur di media sosial. Semangat persatuan yang dulu dijaga dengan darah dan air mata kini diuji oleh algoritma yang menebar perbedaan. Menurut Johny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika (2022), “Teknologi digital bukan hanya alat komunikasi, tapi juga ruang pembentukan karakter bangsa. Tanpa etika digital, kita akan kehilangan jati diri Indonesia di dunia maya” .Di sinilah peran generasi muda menjadi krusial—bukan sekadar pengguna teknologi, tapi arsitek peradaban digital yang beretika dan berpihak pada persatuan bangsa.

Generasi muda saat ini hidup dalam “era konektivitas tanpa kedekatan”. Kita bisa terhubung dengan ribuan orang, namun kian terasing dari semangat kebangsaan. Media sosial seringkali memicu perdebatan dangkal, bukan diskusi bermakna. Menurut Dr. Diah Rahmawati, pakar komunikasi digital Universitas Gadjah Mada (2023), “Disinformasi digital telah menggantikan penjajahan fisik—ia menaklukkan pikiran, bukan wilayah.” Ujaran kebencian dan hoaks memecah belah masyarakat lebih cepat dari peluru. Masalahnya bukan pada teknologinya, tapi pada cara generasi muda menggunakannya. Maka, tugas kita bukan melawan internet, melainkan menaklukkan algoritma dengan nilai-nilai persatuan. Sebagai solusi, penulis menawarkan konsep “Digital Gotong Royong” — bentuk baru semangat persatuan yang dihidupkan di dunia maya. Gotong royong adalah DNA bangsa Indonesia, dan kini harus berevolusi menjadi bentuk digital. Digital Gotong Royong berarti menggunakan teknologi untuk berbagi, berkolaborasi, dan membangun manfaat sosial lintas daerah. Misalnya:

Platform Kolaborasi Nusantara: aplikasi yang mempertemukan pemuda dari berbagai provinsi untuk membuat proyek sosial bersama (ekonomi kreatif, lingkungan, pendidikan).

#Cerita Kita Indonesia: Gerakan narasi digital positif, di mana anak muda berbagi kisah inspiratif daerahnya untuk memperkuat identitas nasional.

Digital Volunteer Hub: wadah relawan daring untuk membantu pelajar di daerah tertinggal melalui bimbingan belajar online atau pelatihan literasi digital.

Menurut Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aptika Kominfo (2024), “Gotong Royong digital adalah cara baru menjaga persatuan. Bukan lagi dengan tenaga fisik, tapi dengan solidaritas data dan kolaborasi daring”. Inilah reinkarnasi semangat Sumpah Pemuda—bukan sekadar bersatu dalam bahasa dan tanah air, tapi bersatu dalam dunia digital yang penuh nilai gotong royong. Pemuda memiliki keunggulan: imajinasi tanpa batas dan adaptasi cepat terhadap teknologi.

Banyak inovasi lahir dari tangan muda—startup lokal, gerakan sosial berbasis digital, hingga komunitas kreatif yang menghubungkan berbagai daerah. Contohnya, komunitas “Ngulik Desa” di Jawa Tengah mengembangkan platform wisata digital berbasis budaya lokal yang melibatkan pemuda desa. Sementara di Papua, “Papua Tech Movement” melatih remaja untuk membuat aplikasi edukasi berbasis bahasa daerah. Menurut Najwa Shihab (2023), “Ruang Digital seharusnya menjadi tempat berbagi ide dan inspirasi, bukan arena permusuhan”. Dua contoh itu menunjukkan bahwa kreativitas digital bisa menjadi jembatan persatuan, bukan hanya sarana ekspresi pribadi. Dua contoh itu menunjukkan, kreativitas digital bisa menjadi jembatan persatuan, bukan hanya sarana ekspresi pribadi. Dengan kolaborasi lintas budaya, pemuda dapat menciptakan ruang digital yang menggembirakan dan produktif, menggantikan ruang yang penuh konflik. Agar semangat Digital Gotong Royong tumbuh kuat, dibutuhkan tiga langkah strategis:

1. Pendidikan Literasi Digital Humanis

Pendidikan harus menanamkan etika digital—bagaimana menggunakan teknologi untuk membangun, bukan menjatuhkan. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menegaskan, “Kemerdekaan belajar juga berarti kemerdekaan berpikir kritis di ruang digital”.

2. Kolaborasi Pemerintah dan Komunitas Pemuda

Pemerintah dapat bermitra dengan komunitas digital muda untuk menciptakan program inovasi lintas daerah, seperti “Digital Indonesia Fellowship”.

3. Penghargaan Nasional untuk Kreativitas Kolaboratif

Setiap tahun, beri apresiasi pada proyek digital yang mempromosikan persatuan dan kearifan lokal, agar semangat positif menjadi budaya.

Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahwa persatuan bukan warisan, tetapi pilihan sadar. Kini, tantangan kita bukan lagi memerdekakan negeri, tetapi memerdekakan ruang digital dari kebencian dan perpecahan. Melalui “Digital Gotong Royong”, generasi muda dapat menjadikan teknologi sebagai perekat, bukan pemecah. Di tangan pemuda yang beretika dan kreatif, dunia digital bisa menjadi ruang baru bagi Indonesia yang satu, kuat, dan berdaulat. Seperti pesan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Tapi lebih dari itu, jangan sekali-kali diam di tengah perubahan. Karena di era digital ini, pemuda bukan hanya pewaris Sumpah Pemuda—mereka adalah pencipta sumpah baru: “Bersatu, Berkreasi, dan Beraksi untuk Indonesia Digital yang Beradab.”

 

Penulis : Vidtheo Sumuru

 

 

  • Bagikan