Penulis: Louis Lolong (Anggota Divisi Editor Pers Mahasiswa Acta Diurna Periode 2021-2022)
Actadiurna.id – Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Tulisan ini dimulai dengan penegasan yang tercantum jelas bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi warga negaranya untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lantas, seberapa bebaskah kita mengungkapkan segala isi pikiran kita?
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita lihat apa itu esensi dari kata “kebebasan” sendiri. Menurut KBBI, “Kebebasan” mengandung makna keadaan bebas, sementara “Bebas” sendiri memiliki arti lepas sama kali atau tidak terikat pada sesuatu. Sehingga makna kebebasan sendiri adalah keadaan kita lepas dari sesuatu yang mengikat kita. Kalau kita melihat dalam kebebasan berekspresi, apakah artinya ekspresi yang kita keluarkan sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan yang ada di sekitar kita? Tentu tidak semudah itu.
Dalam memahami makna kebebasan berekspresi, peril ditinjau kembali makna kata kebebasan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam Bahasa Inggris, kebebasan memiliki dua arti yakni freedom dan liberty. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada subjektivitas pola pengkalimatan. Kata freedom cenderung mengungkapkan kebebasan yang dimiliki secara personal dan menjadi tanggung jawab sendiri. Hal ini esensinya ketika seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu tanpa gangguan atau hambatan dari pihak luar yang berpotensi mengganggu kebebasan yang ada. Contoh sederhana ketika seseorang ingin melempar batu ke sungai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri. Kemudian kata liberty sendiri mencakup ruang lingkup yang lebih luas yakni kebebasan dalam kehidupan sosial. Kebebasan yang dimaksud ialah adanya regulasi yang membatasi ruang gerak seseorang demi kepentingan bersama. Contohnya ketika ada seseorang yang ingin melempar batu ke sungai memilih mengurungkan niatnya karena ada regulasi yang melarang melemparkan sesuatu ke dalam sungai. Dari sini kita bisa lihat manakah ”Kebebasan” yang akan kita bahas lebih lanjut.
Dalam konsep hidup bernegara, makna kebebasan yang didalami ialah liberty yang tentunya apa yang kita perbuat di dalam negara semuanya diatur dalam undang-undang yang berlaku. Jadi, apakah makna freedom sendiri tidak ada dalam negara? Tentu hal tersebut ada. Contohnya saja, kita mengenal istilah freedom of speech yang diatur juga dalam undang-undang, sehingga polemik kata kebebasan ini masih menjadi suatu hal yang perlu didalami. Di dalam negara yang demokratis, freedom seseorang tidak ditekan hingga tidak terciptanya kebebasan yang dimaksud. Freedom yang ada esensinya sudah ada dalam liberty dimana negara bertanggung jawab atas apa yang dilakukan warga negara di dalam negaranya. Sehingga jika menekankan kebebasan dalam arti freedom, tentunya akan membawa dampak bagi banyak pihak yang mungkin tidak akan menerimanya sehingga kehidupan bermasyarakat secara bersama menjadi pialang utama dalam makna kebebasan di dalam negara atau dalam bahasa undang-undang, seseorang harus tetap menghargai hak orang lain.
Setelah paham dengan makna kebebasan yang ada di dalam negara, pertanyaan berikutnya apakah regulasi yang ada tetap berpihak pada rakyat dalam menjaga esensi kebebasan yang ada? Banyak polemic yang terjadi akhir-akhir ini terutama dalam UU ITE yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Kenapa kita harus dipidana kalau hanya salah bicara? Kenapa mengkritik pemerintah kita akan dibungkam? Tentu hal ini yang menjadi polemik. Pada dasarnya UU ITE menjadi sebuah regulasi untuk mengurangi kejahatan dalam bertransaksi online yang kian marak terjadi di Indonesia sendiri. Namun seiring berkembangnya jaman, UU ITE makin melebarkan sayap dari pasal mencemarkan nama baik hingga penyebaran hoax. Hal ini menjadi tanda tanya besar apakah kebebasan dalam makna liberty yang diatur secara langsung oleh pemerintah membungkam setiap orang untuk berpendapat dan berekspresi? Menurut survei Indeks Politik Indonesia, masyarakat kian takut untuk mengemukakan pendapat dengan persentase 69,6% dari 1.200 responden secara acak di setiap wilayah Indonesia. Menanggapi hal ini, akhirnya kebebasan yang ada perlahan-lahan dibungkam dengan adanya regulasi yang seharusnya memihak rakyat. Regulasi yang ada ibaratkan menjadi senjata bagi arogansi kekuasaan sebagai alat pendukung yang kuat untuk melakukan tindakan represi hak-hak masyarakat yang ada. Lantas apakah semua peraturan yang ada salah? Tentu peraturannya baik untuk membatasi hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat luas.
Dalam tulisan ini ingin mengungkapkan bahwa kebebasan masyarakat dalam negara Indonesia belum menemui titik terang bagaimana kebebasan yang dimaksud. Memang negara Indonesia tidak menganut paham liberalism, melainkan sebagai negara demokrasi tentunya patut menjunjung tinggi penegakan Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum hak mengekspresikan diri. Esensi freedom yang kita miliki sudah dibatasi dengan baik berdampingan bersama regulasi yang menciptakan arti kebebasan baru, yakni liberty. Apakah perlu lagi dibatasi hingga dibungkam?
Dilema antara kebebasan dan kebijakan kekuasaan di atas tak kunjung menemui titik temu dengan faktor arogansi masing-masing pihak. Masyarakat ingin sebebas-bebasnya dan kekuasaan ingin menjaga palang kebebasan agar tidak terjadi masalah baru. Sebagai pendapat pribadi, pemerintah sebagai lembaga kenegaraan perlu lebih selektif lagi dalam mengeluarkan undang-undang dan membasmi segala arogansi kekuasaan yang membuat undang-undang tersebut sebagai senjata memperkaya diri sendiri dan juga alat represi bagi hak-hak masyarakat umum. Dan juga rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negara demokrasi, perlu dengan kritis dan cerdas lagi dalam memperbaiki bada negara kita agar semua yang dilakukan masa sekarang bisa menjadi warisan berharga bagi generasi bangsa Indonesia kedepannya. Kedua pihak ini tentunya perlu menjalankan diskusi mendalam lagi dimana pemerintah menerima kritik yang ada dengan tujuan memperbaiki ke arah yang lebih baik dan rakyat dapat memberikan kritik yang membangun sehingga dapat menjadikan terobosan yang berguna bagi semua masyarakat. Kebebasan berekspresi merupakan satu hal yang harus diperjuangkan sekaligus dipertanggung jawabkan. Akhir kata, saya mengutip kalimat dari George Washington, presiden pertama Amerika Serikat, “ Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita mungkin akan dibawa seperti domba ke pembantaian”.