Oleh: Cliefford Jordy Katili
INDONESIA merupakan negara yang luas akan daratan maupun lautan. Daratan di Indonesia kaya sekali akan sumber daya alam yang membantu dalam perkembangan perekonomian negara dan juga memenuhi kebutuhan rakyat yang beragam. Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Maka tanah diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaanya perlu diatur, agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatanya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuanya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.
Luasnya wilayah daratan atau tanah di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai bentuk pengaturan terhadap sistem kepemilikan atas tanah. UUPA merupakan suatu perwujudan reforma agraria di Indonesia. Reforma agraria adalah perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan tanah atau land use planning. Namun walaupun negara sudah memiliki regulasi terhadap pertanahan di Indonesia, masih banyak permasalahan terkait tanah yang terjadi di Indonesia, salah satunya masalah lahan pertanian di desa Kalasey Dua Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberikan tanah hibah di desa Kalasey Dua kepada kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif melalui SK Gubernur No. 368 Tahun 2021. Kebijakan yang diberikan oleh Pemprov Sulut itu dinilai tidak banyak berdampak kepada masyarakat. Atas dasar itu, mereka menuntut agar memberikan legalitas hukum kepada petani di lahan pertanian desa Kalasey Dua sebagai bentuk perwujudan reforma agraria. Selanjutnya, setop perampasan ruang hidup masyarakat petani Desa Kalasey Dua atas nama pembangunan. Hentikan segala bentuk intimidasi dan pelemahan terhadap masyarakat petani Desa Kalasey Dua.
Reformasi Agraria di Indonesia
Perundang-undangan sebagai lex generalis dalam hukum pertanahan saat ini masih tetap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan pedoman utama sebagai bentuk tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yakni sebuah pengaturan mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya sebagai amanat dari konstitusi. Dalam sepuluh pasal yang ada di UUPA, sudah diatur perihal dasar-dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam kaitannya dengan Sumber Daya Alam (SDA), meskipun dari sepuluh pasal tersebut hanya terdapat satu pasal yang mengatur SDA selain tanah sebagaimana yang diatur di Pasal 8 UUPA yakni ada pula bidang pertambangan dan lain- 58 lainnya. UUPA terdiri dari 58 pasal yang didominasi oleh pengaturan tentang pertanahan, sehingga pada saat penerbitannya disebut sebagai Undang-Undang Pertanahan, yang kemudian dalam perkembangannya ditambahkan ketentuan-ketentuan yang tidak hanya menyangkut pertanahan. Penerbitan UUPA merupakan langkah awal pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
Reforma agraria atau land reform merupakan suatu perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Reforma agraria adalah suatu persoalan yang sangat dibutuhkan pada saat ini oleh masyarakat Indonesia dengan mengingat kebutuhan akan tanah sangat meningkat untuk pembangunan sedangkan tanah itu sendiri adalah tetap. Namun lebih dari setengah abad sejak UUPA lahir pada 24 September 1960, penegakan hukum mengenai pertanahan belum berjalan sebagaimana yang diidam-idamkan.
Reforma agraria bermaksud mengadakan suatu perubahan sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah yang lampau kearah sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah baru yang disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang sedang giat melaksanakan pembangunan ekonomi sesuai dengan politik pertanahan NKRI. Reforma Agraria pada dasarnya mencakup tiga masalah pokok, yaitu:
Perombakan dan pembangunan kembali sistem pemilkan dan penguasaan atas tanah. Tujuannya yaitu melarang adanya Groot Ground Bezit yaitu pemilikan tanah yang melampaui batas, sebab hal yang demikian akan merugikan kepentingan umum. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA;
Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan tanah atau land use planning;
Penghapusan hukum agraria kolonial dan pembangunan hukum agraria nasional.
Reforma Agraria bukan sekedar program pemerintah yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Landasan hukum reforma agraria terdiri dari landasan idiil, landasan konstitusional dan landasan operasional, yaitu:
Landasan Idiil : Pancasila
Landasan Konstitusional : Pasal 33 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945
Landasan Operasional :
Pasal 7, 10, 17, 53 UUPA;
UU No. 56/1960: Pembatasan Luas Tanah Pertanahan;
UU No.2/1960 dan Inpres 13/1980: Perjanjian Bagi Hasil;
PP No. 224/1961 dan PP No. 41/1964: Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pembayaran Ganti Rugi;
UU No. 1/1958 dan PP No. 18/1953: Pengahupan Tanah Partikelir dan Eigendom;
Peraturan Ka. BPN No. 3/1991: Pengaturan penguasaan tanah obyek landform secara swadaya;
Keppres No. 34/2003: Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Pelanggaran Terhadap Hak Petani Desa Kalasey
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 3 berbumyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal itu berarti Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Pemaknaan negara hukum ialah negara yang tunduk pada hukum, peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan hukum dan alat-alat perlengkapan negara atau adanya jaminan tertib hukum dalam masyarakat untuk memberikan perlindungan hukum masyarakat, di mana hukum dan kekuasaan adalah hubungan timbal balik.
Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaran urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur). Negara hukum merupakan negara yang tindakannya berdasarkan hukum untuk menjamin ketertiban di masyarakat, menjunjung tinggi kedaulatan hukum, melindungi HAM, dan melaksanakan demokrasi konstitusional. Selain itu, penguasa dibatasi oleh hukum sehingga tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Berdasarkan hakikat negara hukum, maka ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut:
Menegakkan kedaulatan hukum;
Adanya perlindungan HAM;
Kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi dan/atau hukum;
Adanya kekuasaan kehakiman guna penegakan keadilan;
Kekuasaan tidak pada satu orang atau lembaga negara tertentu;
Adanya pelaksanaan demokrasi konstitusional.
Pemerintah seharusnya mampu memperhatikan hukum atau aturan yang berlaku, namun pada kenyataannya pemerintah sering sewenang-wenang dalam membuat kebijakan yang tidak memperhatikan ketentuan yang ada, bahkan tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap masyarakat. Seperti permasalahan tanah di desa Kalasey Dua. Dilansir dari Mediasulut.co, Satryano Pangkey dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menyampaikan, pihaknya mengacu kepada kebijakan secara hukum bahwa warga yang telah menguasai itu lebih dari 20 tahun maka seh arusnya negara memprioritaskan lahan itu diberikan kepada petani. Hanya saja sampai saat ini, segala upaya yang dilakukan petani tidak ada respon yang baik dari pihak Pemprov Sulut untuk bisa memberikannya.
Seseorang yang menguasai suatu tanah secara sah selama 20 tahun berturut-turut tanpa adanya klaim dari pihak lain, berhak untuk mengajukan pengakuan hak pada kantor pertanahan setempat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi :
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya, dengan syarat :
Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.”
Berdasarkan ketentuan itulah, petani berhak untuk melakukan pendaftaran terhadap lahan tersebut dan pemerintah seharusnya mampu memprioritaskan lahan pertanian di desa Kalasey Dua untuk petani dikarenakan lahan tersebut telah dikelola lebih dari 20 tahun tanpa adanya klaim dari pihak lain namun tiba-tiba pemerintah mengeluarkan SK untuk menghibahkan tanah tersebut. Konstitusi pun menjamin akan hak-hak petani akan lahan pertanian, seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Mahkamah konstitusi memberkan tolak ukur terhadap unsur “kemakmuran rakyat”, yang menjadi tujuan dari tindakan “penguasaan oleh negara”. Kriteria tersebut dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo dikemukakan empat pokok tolok ukur. Keempat tolok ukur yaitu:
Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
Tingkat rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; serta
Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Lahan pertanian tersebut merupakan mata pencarian pokok sebagian masyarakat di desa Kalasey Dua yang seharusnya diprioristakan dan dikembangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana tujuan reforma agraria yakni untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Jika dirinci tujuan itu menjadi:
Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan mengubah struktur pertanahan secara revolusioner, guna merealisasikan keadilan;
Untuk melaksanakan prinsip “tanah untuk tani” agar tidak terjadi lagi tanah untuk obyek spekulasi dan alat pemerasan;
Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial;
Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga;
Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya.
Keputusan Pemerintah ini juga bertentangan dengan salah satu asas dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) yakni asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness). Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memerhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memerhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.
Indonesia sudah sejak lama memprogramkan reforma agraria, Reforma afraria telah banyak membawa perubahan positif dalam berbagai bidang. Reforma agraria merupakan suatu cita-cita mulia yang belum tercapai di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan Reforma Agraria pada dasarnya adalah untuk merestrukturisasi tatanan yang ada di dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat merasakan keadilan dan kesamarataan di bidang pertanahan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak permasalahan agraria yang menyebabkan masyarakat tidak merasakan keadilan diantaranya permasalahan di desa Kalasey Dua.
Pemerintah masih saja tidak memperhatikan apa yang menjadi pemaknaan daripada reforma agraria itu sendiri, mereka masih saja sewenang-wenang terhadap petani desa Kalasey Dua, bahkan masih banyak lagi petani diluar sana. Maka dari pada itu, pemerintah haruslah lebih memperhatikan para petani, tidak hanya dari sudut pandang ekonomi tetapi juga memperhatikan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
Sumber
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Agraria (Bandung: Penerbit Reka Cipta).
Yudi Widagdo Harimurti, Negara Hukum dan Demokrasi, (Malang: Setara Press).
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Depok: Rajawali Press).
Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia (Malang: Setara Press).
Subhan Zei, Reformasi Agraria Dari Dulu Hingga Sekarang Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadana, Volume 9 No. 2, Maret 2019.
Fatimah, Reforma Agraria dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Samudra Meurandeh Volume 10 Nomor 2 Juli-Desember 2015.
Retno Sulistyaningsih, Reforma Agraria di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 26 Nomor 1 Tahun 2021 Edisi Januari.
https://mediasulut.co/berita-7207-tuntut-cabut-sk-gubernur-368-petani-kalasey-goyang-deprov.html.
https://pushep.or.id/perkembangan-tafsir-penguasaan-oleh-negara-pada-pasal-33-uud-1945. (*)