44 Ton Ikan Menyusut Karena Nikel, Nelayan Banggai Kehilangan Mata Pencaharian

  • Bagikan
Nelayan bersiap melaut di Muara Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Kamis, (15/9/2022). Foto: Meiling Siape

Oleh: Meiling Kurniawati Siape dan Daniel Kalis Jati Mukti

Operasional tambang nikel di Sulawesi Tengah berdampak besar pada kelangsungan hidup para nelayan. Jumlah tangkapan ikan makin merosot akibat pencemaran

actadiurna.id, Banggai – Adzan sholat Ashar berkumandang dari Masjid Nurul Huda di Desa Bajo, Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Aryo, 33 tahun, bergegas menuju masjid untuk beribadah.

Selepas beribadah, pria yang berprofesi nelayan ini langsung menuju muara sungai tempat perahu ketintingnya bersandar. Berbagai perlengkapan melaut disiapkan, mulai dari pancing, kelomang, hingga lampu ikan. Aryo merupakan seorang nelayan pancing. Sebuah pancing digunakannya untuk menangkap ikan, bukan yang kerap menggunakan jala.

Selepas semua peralatan bersiap, Aryo menghidupkan mesin kapal. Tiga jam perjalanan perlu ditempuhnya untuk sampai di lokasi mencari ikan. Lokasinya ada di perairan Tanjung Api, Kabupaten Tojo Una-una, sebuah kabupaten yang bertetangga dengan Banggai. “Saya sudah mencari ikan di lokasi ini sejak dua tahun belakangan karena ikan di (perairan) Banggai sudah sulit didapatkan,” kata Aryo. “Dulu perjalanan hanya 30 menit, sekarang sampai tiga jam,” Aryo menambahkan.

Aryo menduga sulitnya mendapatkan ikan di Banggai karena keberadaan tambang nikel. Sebab, air yang mengalir dari perusahaan nikel langsung menuju ke muara sungai dan berakhir di laut. Limbah ini membuat air laut yang semula berwarna kebiruan berubah menjadi coklat kemerahan. “Sekarang cuma bisa cari teripang laut di sini (Banggai),” ujar Aryo.

 

Nelayan Kesulitan Mendapatkan Ikan

Pencarian ikan yang tak lagi dilakukan di Banggai, membuat biaya melaut para nelayan semakin membengkak. Saat masih di Banggai, ia hanya perlu mengeluarkan uang sekitar 30 ribu untuk membeli empat hingga lima liter BBM jenis Pertalite.

Sementara ketika melaut di Tanjung Api, Tojo Una-una, Aryo biasa menghabiskan biaya dua kali lipatnya yakni sekitar 60 ribu untuk membeli Pertalite. Kenaikan harga BBM turut mempengaruhi membengkaknya ongkos melaut. Sekarang, ia perlu mengeluarkan ongkos BBM hingga 80 ribu. Ada kenaikan hingga nyaris 40 persen hanya untuk ongkos bahan bakar.

Sayangnya, kenaikan ini tidak disertai dengan bertambahnya jumlah tangkapan ikan. Dua tahun terakhir, hasil tangkapan ikan maksimal dalam sekali melaut adalah 15 kilogram. “Dulu sebelum adanya nikel kami banyak dapat ikan, sekarang setengah mati kita cari,” ujar Aspin, 67 tahun, nelayan lainnya, saat ditemui di Desa Bajo Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. pada Sabtu (10/9/2022).

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2017 – 2020 menunjukkan terdapat penurunan sebanyak 44 ton dari rentang 2017 – 2020. Jumlah ini setara dengan 700 ekor lebih ikan tuna dewasa. Angka produksi sempat mengalami kenaikan sebesar 16 ton pada tahun 2020. Namun, jumlahnya tetap lebih rendah dibandingkan tahun 2017 dan 2018.

Dalam konstelasi nasional, Sulawesi Tengah bukanlah daerah yang memiliki hasil tangkapan ikan tinggi. Tahun 2021 lalu, jumlah tangkapan ikan Sulawesi Tengah berada diurutan 25 dari 34 provinsi di Indonesia. Selama empat tahun terakhir periode 2017-2020 Sulawesi Tengah hanya menyumbang tak sampai tiga persen dari jumlah tangkapan ikan nasional dengan pencemaran tambang nikel menambah minimnya hasil tangkapan ikan di wilayah ini.

Danau Tiu di Kabupaten Morowali Utara yang diduga tercemar lumpur nikel, 2019. Foto: JATAM Sulawesi Tengah

 

Jumlah Nelayan Kian Menyusut

Banggai merupakan salah satu rumah bagi suku Bajau yang sering disebut sebagai suku pengembara laut. Sebagai manusia perahu, ekonomi mereka sangat tergantung oleh keberadaan ikan. Merosotnya tangkapan ikan berdampak besar bagi kehidupan mereka.

Salah seorang nelayan, Astri Katuri menuturkan, pasca perusahaan nikel beroperasi di wilayah Banggai, hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan hanya berkisar 10-15 kilogram. Sebelum perusahaan nikel beroperasi, hasil tangkapan bisa mencapai 20-30 kilogram. Pengurangan ini menjadi faktor penting yang membuat nelayan banting setir atau menganggur. “Mereka pada akhirnya bergantung pada hasil pencarian anak atau menantu. Namun, ada beberapa yang kerja sampingan seperti buruh harian, ”ujar Asri.

Hal yang sama juga disampaikan Aryo. Menurutnya, sejumlah rekan sesama nelayan memilih untuk beralih profesi karena mencari ikan tak lagi mampu menopang ekonominya. “ Beberapa teman beralih menarik bentor, sementara banyak juga yang menganggur,” ucapnya.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari 2018 hingga 2020, terjadi penurunan signifikan terhadap jumlah nelayan di Sulawesi Tengah. Pada tahun 2018, terdapat hampir 127 ribu nelayan di Sulawesi Tengah. Di tahun berikutnya, jumlahnya turun drastis menjadi 51 ribu. Artinya dari sekitar 100 nelayan, sekitar 60 diantaranya tak lagi menjalani profesi ini hanya dalam jangka waktu satu tahun.

Jumlah nelayan laut di Sulawesi Tengah periode 2017 – 2020. Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

 

Air yang Tercemar

Sungai Pongian di Kabupaten Banggai yang diduga tercemar tanah nikel,
Sungai ini tak sampai 100 meter dari muara ke arah laut Banggai. Minggu, (11/9/2022). Foto: Meiling Siape 

Persoalan yang dihadapi nelayan di Banggai adalah bagian dari dampak pertambangan nikel di Sulawesi Tengah. Lokasi tambang yang berada berdekatan dengan hulu sungai menyebabkan material tanah merah yang berasal dari aktivitas tambang mengalir menuju induk sungai terbawa arus menuju ke laut, seperti yang terjadi di Sungai Pongian.

Sungai Pongian merupakan salah satu sungai yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari tambang nikel. Keadaan sungai sekarang sangat berbeda jauh dibandingkan dua tahun kebelakang. Dampak pencemaran nikel nampak jelas dari warna merah kecoklatan ketika pertama kali melihat sungai ini.

Mohammad Taufik, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa limbah pertambangan nikel memang berdampak buruk bagi nelayan. Bila masuk ke dalam laut, limbah nikel akan mengakibatkan rusaknya terumbu karang sehingga mengganggu mata pencahariannya. “Ikan akan menjauh karena habitat mereka rusak, “ jelas Taufik.

Menurut Taufik potensi pertambangan nikel mencemari laut semakin besar karena Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) kerap dibangun di area pantai. TUKS merupakan tempat kegiatan bongkar muat nikel ore (bahan baku nikel) untuk diangkut ke pabrik pemurnian/ smelter nikel. Limpahan lumpur tanah dari kegiatan bongkar muat inilah yang mengalir ke laut dan menjadi dalang rusaknya terumbu karang. “Pencemaran nikel juga dapat mengakibatkan bencana banjir yang merugikan warga pesisir pantai, “ jelasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pencemaran air terjadi di provinsi Sulawesi Tengah dalam kurun waktu delapan tahun terakhir sejak tahun 2014. Hingga pada tahun 2021, pencemaran terjadi di 126 desa Artinya satu dari 14 desa di Sulawesi Tengah telah tercemar selama tahun 2021.

Banggai adalah salah satu wilayah di Sulawesi Tengah yang kasus pencemarannya cukup besar. Dari hasil riset media yang penulis lakukan, terdapat empat desa yang sungainya diduga tercemar karena aktivitas tambang nikel yaitu Desa Pongian, Desa Tuntung, Desa Pinapuan, dan Desa Mayayap.

Sungai Pongian di Kabupaten Banggai yang tercemar tanah nikel. Sungai ini tak sampai 100 meter dari muara ke arah laut Banggai. (Foto : JATAM Sulawesi Tengah)

Penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah mengungkapkan bahwa Sungai Pongian diduga tercemar lumpur nikel. Sungai Pongian menjadi bagian penting bagi masyarakat sekitar. Sebanyak 416 keluarga mengandalkan sungai ini untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sumber air minum, mencuci pakaian, menyiram tanaman, hingga minum ternak.

Widyawati Dwi Rumbay, salah seorang masyarakat Desa Pongian, mengatakan bahwa dulunya kebersihan Sungai Pongian begitu terjaga hingga dapat menjadi sumber air minum. “Masuknya nikel membuat air menjadi keruh sehingga tidak dapat diminum kembali, “ ujarnya yang juga merupakan mahasiswa fakultas hukum ini.

 

Ekspansi Signifikan Tambang Nikel

Suasana pertambangan di Koninis Fajar Mineral, salah satu perusahaan tambang di Kabupaten Banggai, Kamis (15/9/2022). Foto: Meiling Siape

Masalah pencemaran yang melanda Sulawesi Tengah sangat terkait dengan perluasan operasi tambang nikel di wilayah ini. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan terdapat kenaikan signifikan jumlah perusahaan nikel di Sulawesi Tengah. Berdasar SK Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), hanya satu perusahaan tambang yang beroperasi yakni PT. Aneka Nusantara International. Tiga belas tahun berselang, jumlahnya meningkat menjadi 71 perusahaan.

Dari 71 perusahaan, sebanyak 17 diantaranya ada di Kabupaten Banggai dengan luas mencapai 91 hektare atau setara enam kali Kota Bandung. Sebanyak sembilan juta ton nikel per tahun dihasilkan dari total perusahaan tersebut. Angka ini sama dengan berat 150 ribu paus biru jika ditimbang.

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Banggai, Sulawesi Tengah. Sabtu (8/10/2022). Peta Kementerian ESDM

Kecamatan Bunta menjadi salah satu kecamatan yang terkenal sebagai penghasil nikel di Banggai. Setidaknya ada tiga perusahaan nikel yang ada di sana yakni Gemilang Mandiri Perkasa (GMP), Aneka Nusantara Internasional (ANI), dan Koninis Fajar Mineral (KFM). Dari tiga perusahaan itu, hanya Koninis yang masih beroperasi.

Kementerian ESDM melalui rilis pada 11 April lalu menyetop sementara operasional PT ANI karena Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan PT. GMP dihentikan karena diduga tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Kami mencoba menghubungi pihak Koninis Fajar Mineral untuk mengonfirmasi perihal dampak dampak pencemaran tambang nikel terhadap hasil laut. Pada 13 September 2022, kami mengunjungi kantor Koninis Fajar Mineral (KFM) di Kelurahan Salabenda, Kabupaten Banggai. Namun, Salah satu staf anggota Humas PT. KFM mengatakan bahwa Kepala Humas sedang tidak berada di Kantor. Keesokan harinya, kami hubungi via pesan Whatsapp, tetapi dia berdalih bosnya A.K.A Kepala Humas Comdev PT. KFM sedang sibuk.

Sepekan kemudian, kami mencoba menghubungi kembali. Kepala Humas Comdev PT.KFM merespons melalui telepon dengan menyatakan siap ditemui di kantor KFM. Setelah kami kembali ke kantor KFM, Bapak Husen Boften selaku Kepala Humas Comdev PT.KFM kembali meminta waktu lain untuk wawancara, “Akan kami informasikan kembali waktunya ya,” kata dia namun hingga tulisan ini dibuat, tidak ada respons lagi mengenai ketersediaan waktu yang dimaksud.

Sementara itu Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Ridho Sani dan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro saling limpong saat ditanyai soal pencemaran laut di Sulawesi Tengah. Ridho melalui sambungan telepon berdalih tak mau diwawancarai lantaran bukan kewenangannya. “Akan lebih tepat berkaitan dengan data kualitas air laut ditanyakan kepada Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) kami lebih kearah penegak hukum,” ucapnya. Dirjen PPKL Sigit Reliantoro juga beralasan demikian, ” Mestinya pertanyaan ini untuk Dirjen Gakkum karena penyelenggaranya Dirjen Gakkum,” ucapnya lewat pesan singkat.

Sungai Pongian di Kabupaten Banggai yang diduga tercemar tanah nikel,
Sungai ini tak sampai 100 meter dari muara ke arah laut Banggai. Minggu, (11/9/2022). Foto: Meiling Siape

Melihat bahaya pencemaran nikel ini, Taufik menyarankan agar pemerintah harus segera melakukan moratorium pemberian izin penambangan nikel di Sulawesi Tengah. Pemerintah juga perlu memberikan sanksi tegas kepada seluruh kegiatan pertambangan yang menyebabkan pencemaran lingkungan di wilayah aktivitas pertambangan tersebut. Taufik juga menyarankan adanya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan nikel agar tidak kecolongan.

Hal senada disampaikan James.J.H. Paulus, dosen program studi Ilmu Kelautan di Universitas Sam Ratulangi Manado. Menurutnya, ketika suatu perusahaan melakukan aktivitas pertambangan, logam lain selain nikel juga turut keluar. Ia mencontohkan seperti arsenik dan merkuri.

“Logam ini sudah ada di tanah, tetapi ketika manusia gali akan terbongkar dan teroksidasi terkena oksigen, “ ujar dosen dengan kompetensi di bidang toksikologi laut ini.

Oleh karenanya, James menyarankan, tiap perusahaan tambang perlu dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Keberadaan IPAL menjadi sangat penting agar limbah tambang tidak mencemari lingkungan sekitar.(*)

Karya ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews. Karya ini melalui tahapan mengumpulkan data dengan data base dan dituangkan dalam kerangka masterfile. Berikut link database dan masterfile tersebut
Database Meiling Siape x Daniel Kalis
Masterfile Meiling Siape x Daniel Kalis

  • Bagikan