Menakar Relevansi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada

  • Bagikan

Oleh: William Boyke Gosal, S.H.
Kepala Departement Research and HRD Manado Legal Study Community

PASAL 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan tersebut memberikan landasan yang sangat kuat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional karenanya partisipasi rakyat di dalam pelaksanaan pemerintahan menjadi persyaratan utama. Kedaulatan rakyat (demokrasi) menurut Jimly Asshiddiqie adalah rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, rakyatlah yang mencantumkan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan, rakyatlah yang menetukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahanya itu.

Dalam rangka memberikan daulat kepada rakyat, sistem ketetanegaraan Indonesia mengenal sistem pemilihan secara langsung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Pemilihan langsung tersebut merupakan manifestasi dari adanya kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Terkait dengan hal tersebut, Dahlan Thaib menyatakan bahwa: “Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik”.

Pasca reformasi, pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi) tidak hanya dimanifestasi dalam pemilihan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Namun, demokrasi telah dimanifestasi dalam kehidupan politik lokal melalui pendesentralisasian politik kepada daerah-daerah otonom. Salah satu isi kebijakan dari desentralisasi politik tersebut adalah adanya pemilihan secara demokratis terhadap jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan mengenai dipilih secara demokratis tersebut, kemudian dimanifestasi dengan adanya pengaturan mengenai Pilkada langsung yang berfungsi sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pilkada langsung tersebut merupakan suatu keniscayaan demokrasi sebagai manifestasi dari daulat rakyat.

Berkaitan dengan pemilu sebagai bentuk manifestasi dari kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, pada tanggal 24 januari 2022 melalui rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dilaksanakan di Gedung DPR RI Senayan  Jakarta, telah menyepakati penyelenggaran pemungutan suara Pemilu serentak 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024 dan penyelenggaraan pemungutan suara Pilkada serentak 2024 dilaksanakan 27 November ditahun yang sama.

Salah satu perdebatan yang ada diantara para ahli hukum, akademisi, praktisi, penyelenggara, pengamat pemilu hingga masyarakat pada umumnya saat ini dalam menyongsong Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 adalah terkait kewenangan memutus sengketa hasil Pilkada. Sengketa hasil Pilkada harus diselesaikan dengan tata cara yang sesuai dengan hukum (due process of law) termasuk pertanyaan siapakah lembaga yang berwenang memutus sengketa hasil tersebut. Terkait dengan hal ini, beberapa peraturan perundang- undangan yang terkait dengan hal tersebut memiliki politik hukum (legal policy) yang berbeda-beda dalam menafsirkan Lembaga manakah yang mempunyai kewenangan memutus sengketa hasil pilkada.

Sejarah penanganan sengketa hasil penghitungan suara awalnya merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, Pada tahun 2014, kewenangan untuk mengadili perkara sengketa pemilihan kepala daerah ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 97/ PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang membatalkan keberlakuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dengan pertimbangan bahwa Pilkada tidak termasuk dalam rezim pemilu sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus sengketa hasil pilkada.

Selanjutnya, dalam Pasal 159 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota memberikan kewenangan memutus sengketa hasil pilkada kepada Pengadilan Tinggi (PT) dan pihak yang keberatan terhadap putusan PT dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Kemudian ketentuan tersebut, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, di dalam ketentuan Pasal 157 menentukan bahwa yang berwenang adalah badan peradilan khusus. Namun sebelum terbentuk badan peradilan khusus tersebut, Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menentukan bahwa penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan kembali oleh Mahkamah Konstitusi.

Terbaru Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019  berdasarkan penelusuran Kembali  original intent amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan oleh MK menunjukan secara eksplisit bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan bagian dari rezim pemilihan umum (Pemilu). Tiada pembedaan antara rezim pilkada dan rezim pemilu karena desain keserentakan yang dicantumkan oleh MK membarengkan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dengan pilkada. Secara tidak langsung MK telah mengoreksi putusan nomor 97/ PUU-XI/2013 bahwa pilkada bukan merupakan bagian dari rezim pemilu.

Perubahan-perubahan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada dan pergesaran penafsiran MK tentunya tidak memberikan kepastian hukum terkait wadah pengaduan terakhir rakyat yang turut serta dalam kontestasi politik sebagai bentuk dari demokrasi yang dijamin oleh konstitusi.

Begitu juga dengan amanat Pasal 157 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang tidak memberikan solusi secara komprehensif terkait pembentukan badan peradilan khusus Pemilu karena sampai saat ini kewenangan untuk memutus sengketa hasil pilkada masih berada di MK. Pemerintah dan para legislator tidak menunjukan keseriusan untuk mewujudkan peradilan khusus ini, Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 akan segera memulai tahapanya, berdasarkan pasal 157 ayat (2) UU No.

Tahun 2016 Tentang Pilkada badan peradilan khusus pemilu harus segera dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional tahun 2024 dan sampai saat ini belum ada desain atau cetak biru bentuk peradilan khusus ini seperti apa dan upaya pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat mendukung pembentukan peradilan khusus ini tidak nampak, padahal pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak tinggal tersisa dua  (2) tahun lagi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan adalah penelitian yuridis normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti tulisan pustaka atau data sekunder belaka yang berhubungan dengan judul tilisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan Pasal demi Pasal, formalitas dan mengikatnya suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam penelitian ini seluruh pendekatan tersebut akan digunakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. D

engan demikian terbuka kemungkinan untuk menggunakan seluruh atau sebagian pendekatan tersebut sesuai dengan kebutuhan. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (library reasearch). Bahan kepustakaan akan meliputi bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berbagai Undang–Undang yang berkaitan dengan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.

Bahan hukum sekunder berupa bahan yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer berupa hasil penelitian, makalah, artikel, surat kabar, dan lain–lain. Sedangkan bahan hukum tersier, yaitu sumber yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.

Pengaturan Tentang Kewenangan Memutus Sengketa Hasil Pilkada di Indonesia

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah berimplikasi terhadap perubahan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah adanya penguatan atas pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, yang memberikan kewenangan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah otonom.

Otonomi tersebut memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur (regelendaad) dan mengurus (bestuurdaad) urusan pemerintahan yang menjadi kewengannya. Otonomi merupakan the right of self government. Dengan kata lain bahwa otonomi merupakan pendesentralisasian kewenangan pemerintahan oleh pusat kepada daerah otonom. Dengan adanya otonomi, daerah-daerah otonom diberikan kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Pemberian otonomi tersebut tidak hanya terbatas pada pemberian urusan pemerintahan, namun juga harus disertai dengan adanya pendesentralisasian kehidupan politik lokal. Hal tersebut diwujudkan dalam Pilkada langsung dalam pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Hal tersebut secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Frase “dipilih secara demokratis” tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota harus dipilih dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat.

Atas dasar Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 di atas, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dari ketentuan tersebut, maka Gubernur, Bupati atau Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung tersebut merupakan perwujudan daulat rakyat untuk ikut serta di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pilkada langsung tersebut merupakan keniscayaan demokrasi yang harus dilaksanakan.

Walaupun Pilkada didasarkan pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, namun dalam pelaksanaannya sangat berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran dan sengketa. Salah satu jenis sengketa yang dapat muncul dalam penyelenggaraan Pilkada adalah sengketa hasil Pilkada langsung.

Sengketa hasil Pilkada dapat diartikan sebagai sengketa yang muncul akibat yang ditetapkannya hasil Pilkada oleh penyelenggara Pilkada. Secara tekstual, sengketa hasil Pilkada sebenarnya hanya bersifat kuantitatif yakni terkait dengan kekeliruan perhitungan atas hasil Pilkada. Akan tetapi, dalam perkembangannya ditemukan bahwa sengketa hasil tidak hanya berupa sengketa kuantitatif, namun terkait juga dengan sengketa kualitatif, dimana proses Pilkada yang mempengaruhi hasil dapat diuji.

Sengketa hasil pilkada tersebut harus diselesaikan sesuai dengan hukum (due process of law). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Karenanya, sebagai sebuah negara hukum, maka sengketa hasil Pilkada langsung harus diselesaikan melalui lembaga dan menurut tata cara yang telah ditentukan oleh hukum.

Selain itu, sengketa hasil Pilkada harus diselesaikan secara melembaga dan damai, sehingga tidak mengurangi legitimasi penyelenggaraan Pilkada. Hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai positif dan unsur-unsur universal dari demokrasi sebagai landasan penyelenggaraan Pilkada , yakni adanya penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga.

Dengan adanya penyelesaian sengketa hasil Pilkad yang demokratis, due process of law dan melembaga, maka akan mencegah terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung tersebut dapat memberikan kepercayaan kepada rakyat, bahwa suara yang mereka salurkan melalui Pilkada langsung tidak dicurangi oleh siapapun. Selain itu, penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung bertujuan untuk tetap menjaga suara rakyat secara konsisten demi tegaknya kedaulatan rakyat melalui Pilkada yang demokratis.

Terkait dengan hal tersebut, maka penyelesaian sengketa hasil Pilkada telah dikenal semenjak diadopsinya Pilkada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Hal tersebut ditentukan di dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa:

  • Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
  • Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
  • Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

Dengan dasar tersebut, Mahkamah Agung semenjak tahun 2005 menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung. Namun, terminologi Pilkada langsung tersebut berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, menentukan bahwa: “Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Perubahan tersebut pada dasarnya bermula sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/PUU-II/2004, tanggal 22 Maret 2005. Dalam putusan tersebut, ratio decidendi Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:

“Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil pemilu, menurut Para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi.

Tentang permohonan Para Pemohon untuk menyatakan Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) sebagai bertentangan dengan UUD NRI 1945, Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Jadi, dalam ratio decidendi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi sebenarnya memberikan ruang kepada pembentuk undang-undang untuk dapat memperluas makna Pemilu yang terdapat dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI 1945. Terkait dengan hal tersebut, Yusak Elisa Reba menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak secara tegas mengkategorikan pemilukada sebagai rezim pemilu, karena Kepala daerah dan wakil kepala daerah walaupun memegang jabatan selama lima tahun, namun dari aspek waktu masa jabatan tidak sama antara Bupati atau Gubernur di seluruh Indonesia dan pemilihan terhadap kepala daerah berkarakter lokal karena tidak mengikutsertakan wilayah lain di Indonesia.

Namun, Widodo Ekatjahyana menyatakan bahwa, melalui konvensi ketatanegaraan tersebut, ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 telah mengalami perubahan yakni dengan cara memperluas pengertian pemilu, sehingga Pemilukada masuk menjadi rezim pemilu.

Perubahan terminologi tersebut membawa perubahan mendasar atas lembaga yang berwenang untu menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung, yakni dari Magkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Perpindahan tersebut didasarkan pada adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk …, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Atas dasar ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ditentukan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan hasil Pilkada langsung tersebut dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstutusi. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menentukan: “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan bulan) sejak undang-undang ini diundangkan”.

Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung telah menimbulkan perdebatan pro dan kontra di kalangan ahli hukum tata negara. Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu yang secara gramatikal dan original intent adalah pemilihan umum yang ditentukan di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karenanya, banyak ahli menyatakan bahwa pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung ke Mahkamah Konstitusi adalah inkonstitusional. Di isi yang lain, sebagian ahli hukum tata negara juga menyatakan bahwa peralihan kewenangan tersebut merupakan konstitusional dan merupakan perubahan yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Walaupun timbul perdebatan secara akademis, Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut.

Perdebatan pro kontra tersebut berakhir pada tahun 2013, dimana MK menyatakan bahwa MK tidak berwenang untuk mengadili sengketa hasil Pilkada langsung. Hal tersebut dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Hal substansial dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut didasarkan pada ratio decidendi sebagai berikut:

Bahwa Pasal 236C UU 12/2008, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengadili perselisihan hasil Pemilukada, padahal dalam Pasal 22E ayat (2) Bahwa Pemilukada bukan termasuk dalam ruang lingkup pemilihan umum, sehingga penanganan perselisihannya bukanlah menjadi ruang lingkup Mahkamah.

Hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyalahi asas “lex superiori derogat legi inferiori”, karena Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak memberikan kewajiban kepada norma yang lebih rendah untuk mengatur penyelesaian sengketa Pemilukada diberikan kepada Mahkamah; – Bahwa pemisahan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi dapat dimaknai pemilihan kepala daerah bukanlah merupakan bagian dari pemilihan umum, karena secara jelas telah diatur dalam konstitusi penyelenggaraan pemilihan umum tidak termasuk pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, Pasal 236C UU 12/2008 telah menyalahi pengertian pemilihan umum yang telah ditentukan dalam UUD 1945.

Berdasarkan ratio decidendi di atas, diktum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menentukan bahwa pemberian kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung kepada Mahkamah Konstitusi yang diberikan melalui ketentuan Pasal 263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah inkonstitusional dan harus dicabut, karena bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 serta tidak memiliki kekuatan Hukum yang mengikat.

Berdasarkan diktum di atas, maka Mahkamah Konstitusi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengadili, memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilkada langsung. Alasan utama putusan tersebut adalah karena Pilkada langsung tidak dapat dipersamakan dengan rezim Pemilu yang diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sehingga pemberian kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung kepada Mahkamah Konstitusi adalah inkonstitusional danharus dicabut, karena bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Dengan dasar putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan keleluasaan kepada pembentuk UU untuk menentukan lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Namun, diktum Nomor 2 Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menentukan bahwa: “Mahkamah Konstitusi masih berwenang berwenang mengadili perselisihan hasil pemilhan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut”.

Diktum tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum, sehingga pembentuk undang-undang dituntut untuk segera menentukan lembaga peradilan apa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung. Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya bersifat sementara dan merupakan win-win solution, walaupun masih menimbulkan perdebatan ketatanegaraan.

Pasca putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 di atas, pembentuk UU (wetgever/ legislator) menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal 157 UU No. 1 Tahun 2015 menentukan bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh oleh Mahkamah Agung”. Artinya dari ketentuan tersebut, maka yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung adalah pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

Namun demikian ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 2015 tersebut tidak berlaku lama, karena pembentuk Undang-Undang (wetgever/legislator) menetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Perubahan undang-undang tersebut juga membawa perubahan kepada lembaga peradilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung. Pasal 157 undang-undang tersebut mengatur mengenai lembaga peradilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menentukan bahwa:

  • Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Badan Peradilan Khusus.
  • Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
  • Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terjadi pengalihan mengenai lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan hasil sengketa Pilkada langsung, dimana sengketa hasil Pilkada diselesaikan oleh Badan Peradilan Khusus. Namun demikian, badan peradilan khusus apa yang dimaksud, Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak menentukan secara limitatif. Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya menentukan bahwa badan peradilan khusus tersebut akan dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional.

Ketentuan tersebut merupakan perumusan yang kurang tepat mengingat Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan dirinya tidak berwenang lagi untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung. Walaupun dalam Pasal 157 ayat (3) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung sampai terbentuknya badan peradilan khusus yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung.

Hal ini disebabkan ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang menggantung mengingat ketentuan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menentukan bahwa pemilihan kepala daerah serantak serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024. Artinya, bahwa ketentuan tersebut secara substansif bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk menunjuk lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung.

Pergeseran penafsiran terkait dengan rezim Pilkada terjadi kembali berdasarkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 Bahwa setelah Mahkamah Konstitusi menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:

  1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
  2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
  6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;

Terlihat empat dari enam desain keserentakan yang diebutkan oleh MK diatas tepatnya poin dua sampai empat dimana Pemilu serentak dapat dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan Kepala Daerah sehingga tidak ada pembedaan lagi antara rezim Pemilu dan Pilkada dan secara eksplisit menunjukan bahwa Pilkada merupakan bagian dari rezim Pemilu. Dan berdasarkan putusan ini juga MK telah mengoreksi putusanya terdahulu, yaitu Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyebutkan bahwa kewenangan memutus sengketa hasil Pilkada berdasarkan Konstitusi bukanlah kewenangan MK karena rezim Pilkada bukanlah termasuk dalam rezim Pemilu.

Berdasarkan tafsiran dari Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memasukan kembali Pilkada kedalam rezim Pemilu telah memberikan ruang kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa hasil Pilkada berdasarkan Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Relevansi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Menyongsong Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024

Sebagaimana telah dijelaskan dan diuraikan di atas, bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada telah mengalami perubahan dan peralihan. Hal ini menurut penulis terjadi karena pergerseran tafsiran Mahkamah Konstitusi dalam memaknai Pilkada sehingga nampaklah ketidakjelasan terkait arah politik hukum dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada.

Lempar-melempar balik kewenagan memutus sengketa hasil pilkada antara MA dan MK berakhir dengan suatu rumusan berdasarkan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menetukan bahwa kewenangan untuk memutus sengketa hasil Pilkada bukan merupakan kewenangan MK dan memberikan keleluasaan kepada Pembentuk UU (Legislator) menetukan Lembaga peradilan yang berwenang memutus sengketa hasil Pilkada.

Sehingga berdasarkan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menentukan bahwa penyelesaian sengeketa hasil Pilkada diperiksa dan diadili oleh Badan Peradilan Khusus, akan tetapi tidak ada kejelasan terkait badan peradilan khusus yang dimaksud, Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya menentukan bahwa badan peradilan khusus tersebut harus dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional tahun 2024.

Akibat ketidakjelasan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, maka untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacum), Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada.

Amanat Pasal 157 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang memerintahkan untuk membetuk suatu badan peradilan khusus untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada tidak diiringi dengan keseriusan pemerintah dan pembentuk UU (Legislator), ketidakseriusan tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal, yaitu :

  1. Sampai saat ini belum ada desain atau cetak biru terkait kajian bagaimana peradilan khusus penyelesaian sengeketa hasil pilkada akan dibuat.
  2. Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada belum memadai untuk mengakomodir pembentukan badan peradilan khusus penyelesiaian sengketa hasil Pilkada, akan tetapi Pemerintah lewat Mentri Sekretaris Negara menegaskan bahwa tidak aka ada revisi terkait UU Pemilu dan UU Pilkada.
  3. Peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada sebagaimana diatur dalam pasal 157 UU tentang Pilkada dimana karena bentuknya merupakan suatu peradilan maka memerlukan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang agar dapat mengatur secara komprehensif kedudukan, kewenangan dan hukum acara peradilan khusus ini seperti halnya UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Pidana Korupsi dan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akan tetapi dalam Program Legislai Nasional (Prolegnas) Tahun 2022 tidak ada satupun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Peradilan Khusus.

Berdasarkan beberapa hal diatas terlihat jelas ketidakseriusan bahkan ketidaksiapan pemerintah dan legislator karena sampai saat ini belum ada upaya bahkan rencana pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada untuk menyongsong Pilkada serentak tahun 2024 yang tinggal dua tahun lagi. Sehingga penulis berpendapat sudah tidak relevan lagi dan belum perlu untuk dibentuknya peradilan khusus menyongsong Pilkada serentak tahun 2024.

Dan untuk kewenangan penyelesian sengketa hasil Pilkada menurut penulis masih harus tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena MK sudah berpengalaman menanganinya. Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tata negara yang teruji menjadi peradilan politik dalam dua periode pilkada yaitu perioda 2008-2014 dan pilkada serentak  periode 2015, 2017, 2018 dan 2020 yang menjadi bukti praktek penyelesian sengketa hasil pilkada di MK diterima dan dipercayai oleh para pencari keadilan.

Didukung Aspek kekuatan akademisi dan praktisi yang menjadi latarbelakang hakim Mahkamah Konstitusi dan proses peradilan cepat yang selama ini bisa diimplementasikan Mahkamah Konstitusi, dapat dijadikan jaminan untuk menangani penyelesaian sengketa pilkada, apalagi pilkada kali ini akan dilaksanakan secara serentak, sehingga membutuhkan hakim-hakim kapatibel untuk menanganinya.

Juga berdasarkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 Bahwa setelah Mahkamah Konstitusi menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak menghasilkan keputusan yang tidak mebedakan lagi antara rezim Pemilu dan Pilkada yang secara eksplisit bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu, sehingga memberikan ruang kewenangan yang konstitusional kepada MK untuk tetap menyelesaikan sengketa hasil Pilkada.

Karena memang sejatinya esensi dari Pemilu dan Pilkada merupaka sarana untuk mewujudakan kedaulatan rakyat (demokrasi) untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, persamaan asas Pemilu dengan asas Pilkada, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).

Baik Pemilu atau pun Pilkada sama-sama diselenggarakan oleh KPU, Bawaslu dan DKPP, proses dari penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dilaksanakan di tahun yang sama dan daftar pemilihnya sama-sama Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap. Maka sudah tidak relevan lagi untuk dibetuknya badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada dan seyogyanya kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyosong Pilkada dan Pemilu serentak tahun 2024 yang tinggal dua tahun lagi.

Kesimpulan

Kewenangan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Indonesia sudah berulang kali berpindah antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi dan sudah lama menuai pro dan kontra lembaga mana sebenarnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Perdebatan pro kontra tersebut berakhir pada tahun 2013, dimana berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa MK tidak berwenang untuk mengadili sengketa hasil Pilkada karena Pilkada bukan merupakan rezim Pemilu.

Sebagai tindak lanjut dari Putusan MK tersebut Kewenagan untuk memutus sengketa hasil pilkada berdasarkan Pasal 157 UU Nomor 10 Tahun 2016 akhirnya diamanatkan kepada suatu Badan Peradilan Khusus, namun sebelum terbentuknya peradilan khusus tersebut kewenangan memutus sengketa hasil pilkada tetap berada pada MK.

Akan tetapi tafsiran MK kembali bergeser melalui Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 Bahwa setelah Mahkamah Konstitusi menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak menghasilkan keputusan yang tidak mebedakan lagi antara rezim Pemilu dan Pilkada yang secara eksplisit bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu sehingga membuka ruang kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk tetap memutus sengketa hasil Pilkada.

Amanat Pasal 157 UU Nomor 10 Tahun 2016 agar membentuk badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil Pilkada sudah tidak relevan lagi terlihat dari ketidakseriusan dan ketidakmauan pemerintah karena sampai saat ini belum ada desain atau cetak biru peradilan khusus ini seperti apa dan bahkan tidak ada rencana untuk pembentukan regulasi yang dapat mengakomodir terbentuknya peradilan khusus ini padahal Pilkada serentak sudah tidak lama lagi dilaksanakan yaitu pada tahun 2024.

Dan untuk kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada seyogyanya tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena MK sudah berpengalaman dan teruji untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada, juga sejatinya memang esensi dari Pemilu dan Pilkada merupakan sarana untuk mewujudakan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan berdasarkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah membuka ruang kewenangan kepada MK untuk tetap berwenang memutus sengketa hasil Pilkada.

Melihat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan pada tahun 2024 yang sudah tidak lama lagi maka seyogyanya kewenangan memutus sengketa hasil Pilkada dipertegas dengan adanya revisi terbatas terhadap Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk menghapus ketentuan yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada pada Badan Peradilan Khusus yang sampai saat ini tidak mempunyai kejelasan.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harus melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terkait urgensi pembentukan Badan Peradilan Khusus penyelesaian sengketa hasil Pilkada dan mempersiapkan sematang mungkin terkait pembentukan peradilan khusus ini bila memang perlu dibentuk kedepan setelah pelaksanaan Pilkada dan Pemilu serentak tahun 2024.

Referensi

Asshiddiqie, J. 2014, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara “, Jakarta: Rajawali Pers.

Marzuki, M. P. 2005, “Penelitian Hukum”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Muhamad, A. 2004, “Hukum dan Penelitian Hukum”, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Thaib, D. 1993, “Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Yogyakarta: Liberty.

Janpatar Simamora, “Tafsir Makna Negara Hukum dalam Perspektif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Dinamika Hukum 14, No. 3, 2014.

Mayo, H. B. dalam Taufiqurrohman Syahuri, “Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003”, Jurnal Konstitusi, PKK-FH, Universitas Bengkulu, Vol. II No.1, Juni 2009.

Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2014, “Menegakkan Konstitusionalisme dalam Dinamika Politik”, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Januari 2015.

Slamet Suhartono, ”Konstitusionalitas Badan Peradilan Khusus dan MK dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung Justice Constitutionality of Specialized Judiciary and Constitutional Court in Coping with The Disputes on Direct Election Results”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, September 2015.

Widodo Ekatjahyana, “Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Jawa Timur Putaran Kedua Tahun 2008 dan Implikasi Hukumnya”, Jurnal Konstitusi, PSKP-FH Universitas Jambi, Vol. II No. 1, Juni 2009.

Yonata Harefa dkk, “Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung”, Jurnal Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen, Volume 01, Nomor 01 Juli 2020.

Yusak Elisa Reba, “Kompetensi Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah”, Jurnal Konstitusi, PSK-FH, Uncen, Vol. 1 No. 1, 2009.

https://nasional.kompas.com/read/2022/01/24/18261321/resmi-pilpres-pileg-digelar-14-februari-2024-pilkada-serentak-27-november?page=all

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210217072436-32-607143/istana-tutup-pintu-revisi-uu-pemilu-dan-pilkada

  • Bagikan
Exit mobile version