Keterbatasan Gerakan Sosial Progresif serta Pembentukan Nasionalisme-Statis dan Konservatisme Politik di Sulawesi Utara

  • Bagikan
Foto penulis (foti ist)

Penulis : M. Taufik Poli

(Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Indonesia Manado)

Pasca kontrol otoritarian Orde Baru terhadap daerah berakhir pada 1998, daerah di Indonesia menjadi arena pertarungan dari berbagai kekuatan sosial yang relatif otonom dari Jakarta. Proses pertarungan tersebut menyisihkan kekuatan sosial marginal yang terhempas akibat dominannya kekuatan dan kepentingan dari kekuatan sosial dominan. Hubungan antara berbagai kekuatan sosial yang saling berkontradiksi ini kemudian membentuk trajektori yang berbeda-beda dari daerah satu dan lainnya.

Dalam analisisnya mengenai ketidakhadiran Politik Kiri di Indonesia dan kaitannya dengan kekuatan Islam politik, Vedi R. Hadiz menilai bahwa pembangunan kapitalis yang memunculkan berbagai problem struktural mengenai ketidakadilan sosial absen dari perhatian kekuatan politik kiri di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa warisan Perang Dingin di Indonesia secara sistematis telah menghilangkan spektrum politik kiri dari konstelasi politik di Indonesia, sehingga problem mengenai ketidakadilan sosial yang muncul akibat pembangunan kapitalis tidak mempunyai basis sosial-politik yang dapat memperjuangkannya. Pemberantasan kelompok komunis serta gerakan sosial progresif lainnya pada 1965-1966 merupakan faktor determinan di mana masalah-masalah mengenai ketidakadilan sosial dalam konteks pembangunan kapitalis menjadi isu pinggiran yang luput dari perhatian politik yang bersifat ideologis. Sebaliknya, justru kelompok Islam politik menjadi kian mengakar—walaupun tetap marginal—dengan mengarusutamakan konservatisme moral dan sosial alih-alih perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik kapitalis (Hadiz: 2021).

Dengan bersandar pada pendekatan Hadiz di atas, tulisan ini mencoba memahami bagaimana keterbatasan gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara justru menjadi kondisi yang memungkinkan terhadap pembentukan nasionalisme-statis serta konservatisme politik. Nasionalisme-statis berkaitan dengan pandangan nasionalisme sempit yang hanya menjunjung keteraturan, harmoni sosial, dan persatuan nasionalistik sembari mengabaikan problem struktural ekonomi-politik dalam konteks pembangunan kapitalis, di mana pandangan seperti ini didapat lewat pemahaman keliru atas ajaran nasionalisme emansipatif yang didasarkan oleh Soekarno. Seperti yang akan diperlihatkan, PDI-P sebagai partai berkuasa di Sulawesi Utara menjadi episentrum dari pemahaman nasionalisme-statis tersebut. Sedangkan konservatisme politik dalam konteks ini adalah pemeliharaan terhadap nilai-nilai tradisional seperti adat-istiadat dan religiusitas yang belum mampu mentransformasikan kekuatan sosialnya untuk terlibat dalam problem struktural ekonomi-politik. Sebaliknya, kekuatan sosial ini justru mengaktualisasi nilai-nilai tradisional dan religiusitas tersebut hanya dalam artikulasi politik partisan di mana mereka sering terserap di dalamnya.

Pertarungan Hegemoni

Hubungan kontradiktif antara gerakan sosial progresif serta kekuatan sosial-politik dominan yang berkarakter nasionalisme statis dan konservatif harus dipahami dalam relasi pertarungan hegemoni. Sebagaimana dalam analisis Gramscian, pertarungan tersebut tidak saja dilakukan dengan force, tetapi juga consent (Gramsci, 2013 [1987]: 17) . Hal ini membutuhkan pertarungan terus menerus pada tataran budaya serta dominasi politik untuk menanamkan kepentingan dari berbagai kekuatan yang saling bertarung.

Marginalnya posisi gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara disebabkan oleh selalu terpinggirkannya kelompok ini oleh kekuatan sosial-politik dominan dalam pertarungan politik yang konkret dan hegemonik sekalipun. Keterpinggiran tersebut dapat diamati dalam dominannya kekuatan sosial-politik dominan, seperti negara dan aliansi politik-bisnis, sebagai kekuatan yang mereproduksi struktur penindasan: perampasan lahan, eksploitasi lingkungan, problem sosial-ekonomi perkotaan, dan Hak Asasi Manusia.

Reproduksi terhadap struktur penindasan tersebut tidak dapat diimbangi oleh gerkan sosial progresif. Hal ini karena terdapat kekuasaan yang asimetris antara gerakan sosial progresif yang memiliki ragam keterbatasan institusional ataupun struktural serta kekuatan sosial-politik dominan yang menancapkan kepentingannya lewat proses pertarungan sosial-politik. Kapasitas kekuasaan yang berbeda ini membuat kelompok sosial-politik dominan tidak hanya mendominasi dalam arena masyarakat sipil, tetapi juga negara. Sedangkan, gerakan sosial progresif belum mampu menjadi kekuatan hegemonik.

Gerakan Sosial Progresif di Sulawesi Utara: Keterbatasan dan Ketidakpuasan

Salah satu agenda bagi gerakan sosial progresif adalah mengambil posisi strategis untuk mewacanakan demokrasi dalam ruang publik sebagai strategi perang posisi untuk memperkokoh posisi hegemonik. Demokrasi dalam konteks ini tidak dalam pengertian liberal yang terbatas pada penghormatan terhadap individu dan hak milik pribadi, tetapi jaminan terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi dalam ranah mode produksi kapitalis yang mengangkat derajat kelas pekerja dan kelompok subaltern lainnya. Gerakan sosial progresif juga berupaya mengangkat problem struktural akibat pembangunan kapitalis kedalam gerakan sosial dan politik yang nyata, di mana tujuan dari gerakan ini menjadi antinomi dari konsolidasi dan kohesifitas kekuatan politik dominan. Masalah-masalah yang muncul akibat pembangunan kapitalis seperti eksploitasi lingkungan, hak-hak pekerja, perampasan lahan pertanian, ketidakadilan gender, ketimpangan, kemiskinan, dst. menjadi perhatian utama untuk diperjuangkan gerakan sosial progresif secara inklusif.

Secara spesifik, gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara masih mengalami keterbatasan yang menuju pada ketidakpuasan. Posisi marginal gerakan ini dalam pembangunan kapitalis yang mengait serta kekuatan negara dan aliansi politik-bisnis tidak secara efektif dapat mengetengahkan masalah-masalah tersebut dalam perdebatan arus utama di Sulawesi Utara. Secara dominan, ruang publik politis diramaikan oleh perdebatan elitis mengenai isu-isu elite seperti Pemilu dan Pilkada. Kelompok-kelompok studi independen ataupun terafiliasi dengan Universitas dan lembaga penyelenggara Pemilu menjadikan isu-isu politik elektoral dengan pendekatan teknokratis menjadi perbincangan arus utama.

Proses pengarusutamaan wacana demokrasi elektoral tersebut tidak hanya didukung oleh sumber material yang memadai, tetapi juga secara sistematis lewat kaderisasi di dalam atau di luar kampus. Ragam metode seperti diskusi publik, riset partisipatoris, dan seminar menjadi strategi dominan yang digunakan. Dalam pengamatan penulis, tidak jarang diskusi dan seminar mengenai kepemiluan ini menjadi sarana perburuan-rente (rent-seeking) oleh akademisi-teknopol dan elemen kepemudaan serta mahasiswa. Jika para ahli berburu honor pembicara, para partisipan menunggu “uang duduk” yang dibagikan selepas kegiatan. Alih-alih menjadi wahana edukasi politik, hal tersebut justru mereduksinya hanya sebagai pragmatisme belaka.

Fakta di atas mengingatkan kita pada gagasan Gramsci mengenai Intelektual Tradisional, di mana intelektual yang demikian hanya berfokus pada keahlian dan ragam pendidikan teknis yang mendefinisikan diri mereka sebagai “ahli” tanpa bersentuhan langsung dengan kondisi objektif material. Kontras dengan Intelektual Organik, yang menjadi partisipan aktif dalam “kehidupan praktis, sebagai organisator, “pembujuk sejati” dan bukan hanya orator sederhana” (Gramsci, 2013 [1987]: 14). Intelektual elitis dan isu-isu elitis seperti Pemilu/Pilkada dapat dipahami dalam kerangka Intelektual Tradisional tersebut: seolah mereka terlepas dan kedap terhadap kondisi objektif material, yaitu struktur penindasan yang eksis akibat pembangunan kapitalis.

Jika demikian, bagaimana dengan posisi Intelektual Organik, yang dalam konteks ini merupakan kategori yang terintegrasi dalam gerakan sosial progresif? Posisi gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara beserta isu-isu yang dibawanya mengalami keterbatasan secara institusional dan struktural. Dalam mengidentifikasi siapa saja yang merepresentasikan gerakan sosial progresif, penulis mengalami kendala oleh karena sangat minimnya gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara. Walaupun demikian, tetap terdapat beberapa yang bisa menjadi objek analisis, yaitu mereka yang terepresentasikan sebagai Civil Society Organization (CSO) dan wadah-wadah perjuangan kolektif lainnya.

Yang pertama adalah CSO, di mana YLBHI-LBH Manado dipilih sebagai representasi yang membawa perjuangan dan isu-isu progresif. Dalam konteks ini, YLBHI-LBH Manado tidak hanya bertindak sebagai lembaga pemberi bantuan hukum secara tradisional, tetapi secara struktural dengan pendampingan-pendampingan terhadap masyarakat dan kelompok masyarakat yang diperhadapkan dengan struktur penindasan ekonomi-politik. Setidaknya ada tiga kasus yang menjadi fokus anlisis di sini terkait basis-basis dampingan YLBHI-LBH Manado.

Pertama yaitu petani penggarap di Kecamatan Lolak, Bolaang Mongondow. Dalam kasus ini, petani penggarap berhadapan dengan perusahaan sawit PT. Anugerah Sulawesi Indah (PT. ASI)  yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dari bekas lahan PT. Mongondow Indah. Observasi singkat penulis menunjukkan bahwa privatisasi lahan garapan membuat akses petani penggarap terhadap lahan sebagai sumber ekonomi para petani terhenti. Hal ini membentuk suatu kondisi maldistribusi: di mana privatisasi lahan berdasarkan logika akumulasi kapital tidak serta merta  dapat meredistribusikan hasil dari proses produksi secara adil.

Dalam kaitannya dengan struktur penindasan ekonomi-politik itu, peran YLBHI-LBH Manado dirasa masyarakat sangat membantu. Dalam analisis ini, peranan YLBHI-LBH Manado adalah alternatif representasi politik informal, ketika saluran-saluran representasi politik formal tidak berfungsi sebagai wahana artikulasi keadilan bagi petani penggarap. YLBHI-LBH Manado, dalam hal ini terkoneksi dengan aliansi-aliansi gerakan, baik jejaring organik para petani itu sendiri, misalnya Kerukunan Pelajar Mahasiswa Kecamatan Lolak (KPMKL) yang aktif mendampingi petani, ataupun jejaring organik YLBHI-LBH Manado itu sendiri yang mayoritas berpusat di Manado. Pembangunan gerakan yang dilakukan YLBHI-LBH Manado untuk menggalang solidaritas terhadap petani penggarap di Lolak relatif berhasil membangun mobilisasi massa (detikmanado.com/15/08/2019). Walaupun demikian, hal tersebut tidak berlangsung lama sampai tensi dan isunya tenggelam dan kekuatan sosial masyarakat menurun.

            Kedua adalah peran YLBHI-LBH Manado dalam pendampingan petani perkebunan Kelelondey yang meliputi Desa Raringis, Desa Tumaratas, dan Desa Ampreng, Kecamatan Langowan, Minahasa. Dalam kasus ini, petani diperhadapkan dengan klaim sepihak TNI di lahan perkebunan yang diketahui rencananya akan dibangun fasilitas pelatihan militer (manadoxpress.com/26/08/2020). Sedangkan, pekebunan Kelelondey merupakan salah satu perkebunan produktif pemasok produk Holtikultura terbesar di Sulawesi Utara. Hal ini sekaligus menegaskan posisi Kelelondey sebagai sumber kesejahteraan para petaninya. Kontras dengan itu, aparatus koersif negara dengan reputasi keterlibatan dalam penguasaan tanah yang telah menyejarah justru ingin membalikkan kondisi tersebut ke dalam ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi.

YLBHI-LBH Manado dalam upaya mengorganisir kekuatan sosial pada kasus tersebut secara strategis membangun aliansi-aliansi taktis, seperti Kelelondey Memanggil yang dimotori oleh kalangan mahasiswa sekaligus pemuda Desa setempat. YLBHI-LBH Manado dan Kelelondey Memanggil kemudian mengorganisir aksi massa yang cukup dramatis (detikgo.com/24/09/2020). Aksi massa yang diinisiasi oleh YLBHI-LBH Manado dan Kelelondey Memanggil rencananya akan menuju ke kantor Gubernuer Sulawesi Utara, namun mereka mendapatkan penghadangan oleh aparat gabungan TNI-POLRI. Sedangkan massa aksi yang berada di Polda Sulawesi Utara yang menuntut agar massa aksi dibiarkan untuk melakukan demonstrasi direpresi hingga berujung pada penangkapan satu orang massa aksi. Fakta ini menunjukan posisi rentan gerakan sosial progresif dalam kaitannya dengan penggunaan kekuatan koersif dari aparatus represif negara.

Kasus ketiga di mana YLBHI-LBH Manado mengambil peran adalah pendampingan dan pengorganisiran yang dilakukan di Desa Kalasey II, Kecamatan Pineleng, Minahasa. Dalam kasus ini, YLBHI-LBH Manado mendampingi petani penggarap yang kehilangan akses lahan mereka akibat perampasan lahan oleh ragam institusi negara, yaitu BAKAMLA, TNI-AL, BRIMOB, DINKES, dan yang terakhir lewat Surat Keputusan Gubernur Sulut, lahan seluas 20 hektare diserahkan kepada Kementrian Parwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mendukung industri parwisata dengan penyediaan fasilitas pendidikan Politeknik Parwisata (sulawesion.com/04/02/2022).

Peran yang dimainkan oleh YLBHI-LBH Manado dalam hal ini tetap mengacu pada pendekatan bantuan hukum secra struktural, yaitu bagaimana warga dampingan menjadi subjek yang aktif dan dapat mentransformasikan diri dalam perjuangan sosial progresif secara mandiri. Mirip seperti dua kasus sebelumnya, YLBHI-LBH Manado menjadikan lembaga-lembaga taktis perjuangan kolektif sebagai sumber kekuatan sosial. Jika di Lolak ada KPMKL, di Kelelondey ada Kelelondey Memanggil, Maka di Kalasey II ada Solidaritas Petani Penggarap (SOLIPETRA). Strategi tersebut bertujuan untuk menjangkau lebih luas segmen masyarakat yang diharapkan dapat secara mandiri menentukan arah perjuangnnya. Walaupun pada kenyataannya, dalam kasus Kalasey II, petani penggarap dan YLBHI-LBH Manado tetap menempuh jalur hukum sebagai upaya terkahir dalam perjuangan. Keterlibatan dalam sistem hukum formal untuk menyelesaikan masalah semacam kabar yang tidak menggembirakan bagi YLBHI-LBH Manado, hal ini karena mereka sadar sistem hukum tidak berada dalam ruang yang hampa politik dan oleh karenanya bebas akan kepentingan dominan.

Ada keterkaitan dari tiga kasus di atas mengenai peran YLBHI-LBH Manado, yaitu kasus-kasus di atas menempatkan pembangunan jejaring sebagai langkah strategis dan taktis dalam  perjuangan. Jejaring menempati posisi sentral dalam gerakan sosial progresif yang diperjuangkan YLBHI-LBH Manado. YLBHI-LBH Manado terkoneksi dengan gerakan-gerakan lingkungan, HAM, gender, dan berbagai lintas gerakan berbasis mahasiswa. Walau demikian, YLBHI-LBH Manado mengakui bahwa terdapat ketergantungan dari ragam gerakan lain terhadap YLBHI-LBH Manado yang menjadi salah satu kelemahannya: yaitu kesulitan untuk membentuk gerakan yang mandiri (Wawancara: Wungkana, 03 April 2022).

Secara struktural, YLBHI-LBH Manado mengahadapi suatu struktur ekonomi-politik yang mereproduksi penindasan sebagai konsekuensi dari pembangunan kapitalis, seperti yang terlihat dalam tiga kasus tersebut: perampasan lahan (land grabbing). Perampasan lahan bukan tipikal dari proses akumulasi primitif di awal periode kapitalisme, tetapi suatu kondisi konkret kekinian yang terjadi terutama di negara dunia ketiga, di mana proses akumulasi kapital menggunakan cara-cara ekstra-ekonomi seperti kekerasan untuk memuluskan proses akumulasi (Mudhoffir, 2022: 4).

Secara institusional, YLBHI-LBH Manado mengalami keterbatasan terutama karena kesulitan untuk membangun gerakan yang dapat menjaungkau secara luas dan koheren dalam suatu platform gerakan sosial progresif. Selain itu, ketergantungan aliansi perjuangan kolektif warga terhadap YLBHI-LBH Manado membuat gerakan kian mengalami hambatan-hambatan. Keterbatasan institusional ini juga dapat dilihat dari ketidakmampuan YLBHI-LBH Manado untuk merespon berbagai isu dan mendampingi setiap problem ketidakadilan yang terjadi. Atas dasar keterbatasan institusional tersebut, pembangunan jejaring yang luas dan inklusif menjadi poin sentral bagi YLBHI-LBH Manado. Dalam rapat-rapat jejaring, hal ini sering ditekankan, bahwa kekuatan YLBHI-LBH Manado yang terbatas sangat membutuhkan dukungan dan kerjasama dari ragam kekuatan sosial progresif lainnya.

Kasus-kasus di atas juga serupa dengan hasil analisis Airlangga Pribadi (2019), di mana kekuatan sosial progresif tidak bertransformasi menjadi kekuatan penanding bagi kekuatan oligarki yang mempertahankan kepentingan predatorialnya dalam arena pertarungan lokal (terutama lihat BAB VII dalam buku itu). Kelemahan serta keterbatasan kekuatan sosial progresif tersebut secara konstitutif merupakan kondisi bagi peminggiran lebih lanjut terhadap kekuatan sosial progresif. Hal ini bukan hanya karena gerakan masyarakat sipil itu yang bermasalah, tetapi juga termasuk pemahaman yang tidak memuaskan mengenai konsep masyarakat sipil itu sendiri yang bersumber dari tradisi pemikiran politik liberal.

Dengan problem struktural dan institusional yang dihadapi oleh YLBHI-LBH Manado serta kekuatan sosial progresif lainnya membuat upaya pembentukan lebih lanjut bagi gerkan sosial progresif mengalami keterbatasan. Keterbatasan tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai ketidakpuasan, terutama kelompok sosial marginal yang mengalami eksklusi secara ekonomi-politik yang akan menjadi basis baru bagi kekuatan sosial dominan yang membawa kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang predatorial. Hal itu karena kelompok ini telah menjadi dominan di arena masyarakat sipil dan negara sekaligus, sehingga berhasil membangun consent terhadap kelompok sosial marginal sebagai strategi Perang Posisi merebut posisi hegemonik.

Gaung Nasionalisme-Statis

Asal-usul dari pemikiran politik nasionalisme-statis di Indonesia dapat diamati sejak Soepomo mengusulkan pada sidang BPUPK agar Indonesia membentuk sebuah model negara integralistik, yakni negara sebagai satu kesatuan organik yang didasari pada hukum dan struktur sosial orisinil bangsa Indonesia. Dalam pengertian negara integralistik ini, tidak terdapat pemisahan antara beragam kelompok sosial masyarakat dengan kekuasaan negara. Keduanya dianggap telah menyatu dan terintegrasi dalam negara secara organis. Pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat dianggap tidak penting karena negara dapat menjadi entitas yang merepresentasikan semua kepentingan. Dalam terma Hegelian, negara dalam konteks ini telah menjadi Roh Absolut yang sudah melewati proses dialektis (lihat pidato Soepomo: 31 Mei 1945).

Secara historis, negara integralistik atau negara organis ini menurut David Bourchier (2016) semakin konstitutif ketika Orde Baru menjadikan negara sebagai representasi tunggal atas ragam ideologi yang saling berkontradiksi. Kekuatan sosial yang berbeda-beda dalam arena masyarakat sipil dibuat menyatu dalam ragam strategi korporatisme negara dan depolitisasi massa untuk mendukung pembangunan kapitalis, sebagaimana Ali Murtopo yang beperan sebagai arsitek politik Orde Baru untuk merumuskan strategi politik yang demikian. Dalam konteks ini, Orde Baru berperan sebagai rezim organis, di mana kehendak dari negara secara otomatis juga sudah meliputi kehendak dari masyarakat. Dengan demikian, pertentangan antara sesama kekuatan sosial ataupun antara kekuatan sosial dan negara dianggap tidak lagi relevan.

Dari pemikiran negara integralistik atau negara organis itulah pemahaman nasionalisme-statis ditegakkan. Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa nasionalisme-statis berkaitan dengan pandangan nasionalisme sempit yang hanya menjunjung keteraturan, harmoni sosial, dan persatuan nasionalistik. Tujuan terbesar pandangan ini adalah tercapainya berbagai cita-cita besar sebuah bangsa, di mana hal tersebut memerlukan persatuan dari berbagai kekuatan sosial masyarakat untuk mendukungnya. Hal ini kontras dengan pemikiran nasionalisme-emansipatif yang bersumber pada pandangan politik Soekarno. Nasionalisme-emansipatif menitikberatkan pada artikulasi kekuatan politik nasional untuk terbebas dari belenggu struktur ekonomi kapitalis dan imperialisme. Hal ini tidak membutuhkan kategori seperti yang ada pada nasionalisme-statis yaitu keteraturan (order), tetapi transformasi politik untuk menjauh dari struktur ekonomi-politik yang menindas tersebut.

Menurut Hadiz, pandangan nasionalisme-statis ini diapdosi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di mana Pancasila dipahami hanya sekedar sebuah relasi harmonis antara negara dan masyarakat sipil. Menurutnya, pandangan seperti ini menjadi instrumen untuk membungkam pendapat dan mengisolasi kepentingan oligarki warisan otoritarianisme Orde Baru (Hadiz: 2016). Tidak berlebihan jika kita menyetujui analisis Hadiz dengan mengamati bahwa PDIP telah menjadi episentrum utama untuk menggaungkan pemahaman Pancasila yang reduksionis.

Di Sulawesi Utara, pandangan nasionalisme-statis yang didasarkan pada reduksionisme Pancasila digaungkan dalam berbagai retorika elite politik, terutama dari PDIP, dengan istilah “sinergitas”. Secara praktis, istilah ini dimaksudkan untuk jalinan kerjasama yang harmonis antara berbagai tingkat pemerintahan dan kelompok masyarakat Sulawesi Utara secara luas. Hampir bisa dipastikan bahwa siapa saja yang mengamati politik lokal Sulawesi Utara sangat familiar dengan istilah ini. Untuk menyingkap motif ideologis dibalik istilah ini perhatian harus diarahkan kepada konteks ekonomi-politik Sulawesi Utara yang sedang menggencarkan pembangunan kapitalis.

Dalam melaksanakan pembangunan kapitalis tersebut, relasi harmonis antara negara dan masyarakat sipil dianggap perlu sebagai penyediaan kondisi yang baik untuk akumulasi kapital. Istilah “sinergitas” dalam maknanya yang ideologis dimaksudkan untuk membangun tatanan sosial yang ramah terhadap akumulasi kapital untuk menegakkan pembangunan kapitalis di Sulawesi Utara. Sering dalam pidato-pidato kepala daerah di Sulawesi Utara dikemukakan gagasan mengenai tatanan sosial yang harmonis agar daerah bisa membangun iklim investasi yang baik. Gagasan ini berangkat dari pandangan ekonomi-politik dominan yang percaya bahwa tatanan sosial harmonis menjadi pendukung bagi kelancaran pasar. Dalam doktrin Huntingtonian, pandangan itu juga harus di dukung oleh sebuah tertib politik (political order) yang menegakkan stabilitas politik sebagai upaya strategis bagi pembangunan politik dan modernisasi ekonomi (lihat Huntington: 1983). Pandangan ini tidak saja memunculkan problem demokrasi, tetapi juga bias ideologis yang berupaya untuk menegakkan pasar bebas.

Problem demokrasi yang muncul dari kepercayaan semacam ini bahwa setiap upaya kritis yang terutama menyoroti aspek ekonomi-politik dari pembangunan kapitalis tersebut akan dianggap sebagai upaya mengacaukan “sinergitas” dan “pembangunan” yang sedang digencarkan. Seperti yang telah Hadiz katakana sebelumnya, bahwa pandangan ini menjadi instrumen untuk mengisolasi kepentingan predatorial oligarki dari suara kritis publik. Oleh karena itu, setiap gerakan sosial progresif yang menyoroti dampak-dampak akibat pembangunan kapitalis akan dianggap sebagai tindakan yang tidak ramah terhadap pasar. Hal ini pernah dihadapi oleh gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara saat mereka mendampingi petani penggarap Desa Kalasey II, di mana saat wawancara dengan media, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyebut bahwa penolakan terhadap Surat Keputusan Hibah dari Gubernur ke Kementrian Parwisata dan Ekonomi Kratif hanya dimotori oleh orang luar, yaitu para pendamping masyarakat Desa Kalasey II (KawanuaTV Manado/20/02/22).

Sedangkan problem ideologis tentang kepercayaan terhadap struktur sosial harmonis dapat menjadi iklim yang baik bagi akumulasi kapital adalah bahwa pandangan ini diintroduksi oleh teori ekonomi-politik neoliberalisme yang memahami bahwa pasar bebas bisa dibentuk lewat pengaturan secara teknokratis atas berbagai elemen pendukung pasar bebas tersebut. Selain itu, hubungan negara dan masyarakat sipil yang secara historis dan dialektis mengandung kontradiksi disesuaikan dengan artikulasi yang harmonis yang menjadi konstitutif bagi relasi keduanya. Tujuannya tetap sama: terciptanya kondisi bagi kebebasan pasar dan akumulasi kapital.

Dengan memperhatikan konteks ekonomi-politik inilah persoalan menjadi jelas: bahwa reproduksi pandangan nasionalisme-statis di Sulawesi Utara oleh partai nasionalis PDIP dimaksudkan untuk menjadi pandangan yang mendukung pembangunan kapitalis beserta pengabaian terhadap masalah struktural yang muncul mengikutinya. Lewat pembacaan keliru atas pemikiran nasionalisme Soekarno, pandangan nasionalisme-statis dan agen-agennya justru lebih identik dengan negara integralistik yang pernah dipraktikkan oleh Orde Baru. Dengan pemahaman yang reduksionis terhadap Pancasila yang hanya menekankan pada harmoni, keteraturan, dan persatuan, dan membuang aspek progresif di dalamanya, membuat pandangan ini tidak saja keliru, tetapi menjadi hegemonik.

Oleh karena pandangan nasionalisme-statis telah menjadi hegemonik, gerakan sosial progresif Sulawesi Utara kesulitan dalam hal mengkonstruksi perangkat hegemonik yang efektif untuk mengarusutamakan ragam masalah akibat pembangunan kapitalis di daerah ke dalam percakapan publik secara luas. Konsekuensinya adalah masalah-masalah yang mendasar mencakup kehidupan kelompok marginal tidak dapat terangkat dalam sirkulasi wacana dan gerakan politik yang konkret, di mana gerakan sosial progresif tersingkir secara wacana sekaligus politik oleh kekuatan politik dominan. Keterbatasan gerakan sosial progresif ini menjadi kondisi memungkinkan bagi terus berkuasanya kekuatan politik dominan beserta pandangan-pandangannya yang hegemonik.

Artikulasi Konservatisme Politik

Sulawesi Utara menjadi salah satu daerah di Indonesia di mana institusi dan kekuatan sosial keagamaan dan adat tradisional menjadi dominan dalam pertarungan politik lokal. Kekuatan sosial keagamaan dan adat tradisional menjadi kekuatan politik yang harus diperhatikan para kandidat untuk bertarung dalam kompetisi elekoral. Kemenangan Olly Dondokambey sebagai Gubernur dua periode tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan memobilisasi basis sosial religius dan organisasi adat untuk menjadi pendukung menghantarkannya dalam kekuasaan lokal. Selama memerintah, Olly tetap merawat basis sosialnya dengan strategi patron-klien. Hubungan tersebut dibangun berdasarkan penginjeksian kepentingan politik dalam institusi agama seperti Gereja, terutama Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM). Proses injeksi kepentingan politik ke dalam Gereja secara jelas dapat dilihat dari dipilihnya Rio Dondokambey, anak dari Olly Dondokambey, sebagai ketua Pemuda Sinode GMIM pada Sidang Sinode GMIM 2022 (manadoterkini.com/25/03/2022). Hal ini semakin menegaskan posisi Gereja yang rentan dikooptasi oleh kepentingan politik predatorial. Orkestrasi keluarga di dalam institusi pemerintahan dan organisasi-organisasi masyarakat lain bisa dibaca sebagai prakondisi untuk tetap melanjutkan kekuasaan setelah Olly harus mundur dari pemerintahan pada 2024 nanti.

Walaupun proses injeksi kepentingan politik ke dalam Gereja (GMIM) telah disadari oleh sebagian warga GMIM (lebih khusus kelompok pemudanya) dan telah menjadi perdebatan , faksi penentang terhadap kepentingan politik dalam Gereja tidak menjadi elemen signifikan yang dapat berpengaruh untuk melakukan perubahan transformatif secara internal. Penjangkaran kekuatan politik dalam institusi religius ini nampak sukar ditentang, apalagi dalam relasi patrimonial yang menjadi ciri khas berbagai institusi keagamaan. Elite-elite GMIM nampak terserap ke dalam aliansi politik yang sama sekali tidak punya kaitannya dengan pemeliharaan moral keagamaan. Dalam realitas politik praktis, nilai dan moral agama beserta institusi-institusinya hanya sebagai jalan masuk menuju kekuasaan. Singkatnya, politik praktis hanya menginstrumentalisasi nilai dan institusi agama untuk tujuan politik. Hal ini sekaligus mementahkan argumen yang menyatakan bahwa keterlibatan elite politik dalam institusi keagamaan merupakan upaya untuk memelihara nilai dan moral agama. Sebaliknya, yang terjadi justru instrumentalisasi atas nilai dan institusi tersebut.

Peranan Geraja dalam politik lokal Sulawesi Utara tidak menjadikan lembaga ini diuntungkan. Hal tersebut karena artikulasi politik yang partisan tidak memahami Gereja sebagai lembaga yang seharusnya dijaga otonominya, dan oleh karena lembaga ini adalah garis depan untuk menjaga nilai-nilai etis, lembaga ini sudah seharusnya dihormati dengan tidak mengintrodusir kepentingan politik ke dalamnya. Walaupun begitu, ini bukan berarti menghilangkan fungsi sosial Gereja yang dapat berperan untuk mengemansipasi kelompok marginal. Fungsi sosial-emansipatif inilah yang harusnya dijadikan titik sentral jika menuntut peranan aktif Gereja dalam dinamika sosial, bukan sebaliknya, yaitu menjadi aliansi politik partisan sesaat.

Selain institusi religius seperti Gereja, institusi tradisional berbasis adat juga menjadi kekuatan sosial penting yang harus dikuasai untuk mendapatkan kekuasaan lokal di Sulawesi Utara. Sebagaimana Olly yang telah membuktikannya, kekuatan sosial ini dapat menjadi basis signifikan dalam kekuatan politik praktis. Mayoritas dari mereka berbentuk milisi-milisi yang bersandar pada nilai-nilai tradisional Minahasa. Selain menjalankan fungsi tradisionalnya, yaitu pembela nilai dan adat istiadat, kekuatan sosial ini juga menjalankan fungsi politis sebagai garda depan mobilisasi politik dan jasa keamanan.

Tidak jarang, fungsi politis yang dimainkan tersebut menjadi perdebatan internal sehingga memunculkan faksi-faksi yang setuju dan tidak setuju atas fungsi politik tersebut, dan lebih lanjut, hal ini kerap menuju pada perpecahan internal. Mobilisasi milisi-milisi politik—baik yang bercorak agamis, nasionalis, dan etnis—bukan menjadi hal baru dalam langgam politik Indonesia. Dalam analisisnya mengenai elite-elite dominan pasca-Orde Baru, menurut Vedi R. Hadiz, kemunculan milisi-milisi sipil dengan ragam coraknya adalah warisan dari politik otoritarianisme Orde Baru yang mencari peruntungan politik dalam kondisi demokrasi dengan menyediakan jasa-jasa seperti kekerasan dan intimidasi, dan tak jarang sebagai garda depan mobilisasi politik (Hadiz, 2022: 146). Pendapat lain menilai bahwa kelompok milisi sipil atau vigilante ini adalah konsekuensi dari struktur ekonomi-politik kapitalis (Mudhoffir: 2022).

Seperti kasus yang terjadi pada Gereja di Sulawesi Utara, institusi adat dan elite-elitenya tidak menjalankan peran sosial yang bertujuan untuk mengangkat derajat masyarakat adat yang terpinggirkan akibat pembangunan kapitalis. Perhatian untuk memelihara tradisi dan peninggalan-peninggalan budaya harusnya tidak dilepaskan dari struktur ekonomi-politik kapitalisme yang secara fundamental menjadi kekuatan yang mereproduksi ketidakadilan dan menjadi ancaman, khususnya kepada masyarakat adat. Perambahan hutan adat dan kehancuran situs-situs adat adalah fenomena dari akumulasi kapital yang memerlukan ruang ekspansif lebih besar. Dengan demikian, perlawanan terhadap penghancuran nilai dan tradisi tradisional juga harus diringi dengan perlawanan terhadap kapitalisme.

Jalan konsevatisme politik, yaitu pemeliharaan nilai-nilai religius dan tradisional membentuk artikulasi politik yang konsevatif juga di Sulawesi Utara. Hal ini karena institusi religius ataupun adat tradisional tidak mentransformasikan kekuatan ke dalam perjuangan yang berupaya mengemansipasi kelompok marginal yang tereksklusi oleh pembangunan kapitalis. Sebaliknya, kedua institusi tersebut justru terserap ke dalam aliansi politik yang memajukan kepentingan politik predatorial, dengan cara menginstrumentalisasi kedua lembaga tersebut dan mereduksi peran sosial-emansipatif yang mungkin berpotensi muncul dari kedua lembaga itu. Akibat artikulasi politik yang demikian inilah corak politik Sulawesi Utara didominasi oleh konsevatisme politik alih-alih artikulasi yang bersifat progresif.

Dengan dominannya corak politik yang konservatif ini, kekuatan progresif dan isu-isunya tidak menjadi hal yang dapat terkonstruksi dalam artikulasi politik dominan di Sulawesi Utara. Sebagaiaman argumen utama dalam tulisan ini, hal itu tidak terlepas dari keterbatasan baik secara struktural ataupun institusional dari gerakan sosial progresif di daerah ini. Keterbatasan tersebut, seperti sebelumnya, berkonsekuensi kepada semakin dominannya kekuatan sosial-politik dominan berserta kepentingan dan isu-isunya yang hegemonik.

Kesimpulan

Tulisan ini telah membahas bagaiamana keterbatasan dari gerakan sosial progresif menyediakan kondisi makin tegaknya artikulasi politik dominan yang bercorak nasionalisme-statis dan konsevatisme politik. Keterbatasan struktural seperti pembangunan kapitalis dan aliansi politik-bisnis yang mendukungnya membuat gerakan sosial progresif tetap berada dalam pinggiran politik. Upaya-upaya untuk menginterupsi hal tersebut, dalam perspektif nasionalisme-statis, dianggap menjadi pemecah harmoni relasi masyarakat sipil dan negara yang bertujuan untuk mendukung pembangunan kapitalis.

Keterbatasan institusional, seperti yang telah kita lihat pada aktivitas YLBHI-LBH Manado dalam mendampingi masyarakat marginal, juga membuat gerakan sosial progresif di Sulawesi Utara tidak menjadi kekuatan signifikan yang dapat mengubah relasi kekuasaan predatorial lokal. Tiga kasus yang diangkat dalam tulisan ini memperlihatkan bagaimana gerakan sosial progresif mengalami kelemahan-kelemahan tertentu yang membuat struktur pendindasan tersebut tetap langgeng.

Akibat keterbatasan-keterbatasan yang dialami gerakan sosial progresif tersbut itulah artikulasi politik yang bercorak nasionalisme-statis dan konsevatif tumbuh subur. Reproduksi wacana yang bercorak nasionalisme-statis, khususnya dalam penggunaan istilah “sinergitas” untuk menjustifikasi pandangan demikian, menjadi kekuatan yang sangat hegemonik, meminggirkan artikulasi gerakan sosial progresif. Sedangkan, artikulasi yang bersifat konservatif menjadi dominan terutama dalam kepentingan politik elektoral. Institusi religius dan adat tradisional belum mampu mentransformasikan kekuatannya ke dalam peran sosial-emansipatif sebagai upaya bagi kelompok marginal untuk keluar dari struktur penindasan tertentu. Sebaliknya, kekuatan sosial ini justru hanya menjadi objek instrumentalisasi dari kekuatan politik dominan.

Daftar Referensi

Bourchier, David. 2016. “Iliberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State”. Routledge: New York.

Gramsci, Antonio. 2013 (1987). “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara”. Terj. Teguh Wahyu Utomo. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Hadiz, Vedi R. 2021. “Indonesia’s missing Left and Islamitation of dissent”. Third World Quarterly: Vol. 42, No. 3, 599-617.

Hadiz, Vedi R.. 2022. “Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme”. Terj. Abdil Mughis Mudhoffir. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

Kusman, Airlangga Pribadi. 2019. “The Vortex of Power: Intelectual and Politics in Indonesia’s Post-Authoritarian Era”. Palgrave Mcmillan: Singapore.

Mudhoffir, Abdil Mughis. 2022. “State of Disorder: Privatised Violance and the State in Indonesia”. Palgrave Mcmillan: Singapore

Sumber Internet:

https://detikmanado.com/aksi-demo-gerakan-rakyat-anti-sawit-apa-hasilnya/ (diakses pada 23 Mei 2022).

https://www.manadoxpress.com/berita-17434-ylbhi-konflik-kelelondey-masuk-16-kasus-perampasan-lahan-di-indonesia.html (diakses pada 23 Mei 2022).

https://detikgo.com/2020/09/24/aksi-damai-petani-solidaritaritas-kelelondey-memanggil-di-blokade-aparat-polres-minahasa/ (diakses pada 23 Mei 2022).

https://sulawesion.com/sulut/pemprov-sulut/gerus-lahan-garapan-hibah-tanah-pemprov-sulut-renggut-nasib-petani-desa-kalasey-dua/ (diakses pada 23 Mei 2022).

https://www.manadoterkini.com/2022/03/92949/rio-dondokambey-terpilih-ketua-pemuda-gmim/ (diakses pada 24 Mei 2022).

  • Bagikan