actadiurna.id – Airmadidi pagi itu tidak terlalu ramai. Udara terasa lebih panas dan berangin dari, seolah mengikuti suasana hening di antara puluhan batu Waruga yang berdiri kokoh sejak ratusan tahun lalu. Di tengah kompleks makam kuno yang tenang itu, sekelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) berjalan pelan, mencatat, memotret, dan sesekali berhenti untuk memperhatikan detail ukiran pada batu-batu kubur leluhur Minahasa.
Mereka berada di sana pada 29 November 2025 untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Pariwisata, namun perjalanan tersebut dengan cepat berubah menjadi pengalaman yang jauh lebih hidup dari pada sekadar observasi lapangan.
Di salah satu sudut kompleks, suara percakapan berbahasa Inggris terdengar samar. Ternyata, di saat yang sama, sekelompok turis asal Belanda juga sedang berkeliling Waruga, ditemani seorang pemandu lokal yang menjelaskan sejarah pemakaman batu itu. Keberadaan mereka mengejutkan para mahasiswa, jarang ada keramaian di tempat yang biasanya sunyi ini.
Ketertarikan membawa kedua kelompok itu saling mendekat. Dengan sopan, para mahasiswa meminta izin untuk berbincang, dan turis-turis tersebut menyambut mereka dengan ramah. Mereka datang ke Airmadidi sebagai bagian dari perjalanan kapal pesiar, dan Waruga menjadi salah satu destinasi budaya yang disarankan agen tur.
Percakapan itu berlangsung santai, hangat, dan penuh rasa ingin tahu. Para turis tampak terpesona oleh bentuk Waruga yang dianggap “cantik tetapi misterius”. Salah satu dari mereka
tersenyum sambil memandang batu-batu tua itu dan berkata: “Of course, people should visit here to learn about their culture.”
Mahasiswa yang mendengarnya ikut bersorak, sebuah kalimat sederhana, tapi mengena. Turis lain kemudian menimpali dengan suara yang lembut namun tegas: “Everyone should know this is your tradition.”
Perkataan itu membuat suasana berubah. Mereka yang berada di sana seakan diingatkan kembali bahwa Waruga bukan hanya objek wisata, bukan hanya tugas kuliah, tapi juga warisan panjang yang melekat pada identitas masyarakat Minahasa. Sementara itu, Waruga tetap berdiri sunyi seperti biasanya. Sepi, namun memancarkan keindahan estetik dari bentuk khasnya. Cahaya matahari pagi menyentuh permukaan batu-batu tua itu, membuat ukiran-ukiran tampak lebih jelas, seolah turut menjadi saksi percakapan budaya yang terjadi hari itu.
Kunjungan lapangan yang awalnya hanya terlihat sebagai rutinitas akademik ternyata membawa cerita yang lebih hangat: tentang budaya yang dibaca ulang, sejarah yang dihargai oleh orang dari jauh, dan mahasiswa yang menyaksikan sendiri bagaimana komunikasi pariwisata terjadi secara langsung.
Dan mungkin, seperti Waruga yang tetap berdiri melampaui waktu, pengalaman singkat ini akan terus melekat dalam ingatan mereka, sebagai bukti bahwa belajar budaya tidak selalu ditemukan di dalam kelas, tetapi juga dalam momen kecil yang tak terduga.
Oleh: Firley Amsori
