Politik Pengetahuan dan Pembangunan Neoliberal

  • Bagikan
M. Taufik Polii.

Oleh: Taufik Poli
Mahasiswa Ilmu Politik UNPI Manado, Koordinator Utama Deliberasi Institute

MASIFNYA pembangunan negara kapitalisme neoliberal berjalan beriringan dengan dominanya ilmu pengetahuan yang bercorak teknokratik di dalam sirkuit pembangunan tersebut. Teknokratisasi dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial, telah memarginalisasi analisis yang lebih struktural tentang pertarungan sosial, kepentingan ekonomi-politik, hingga corak kekuasaan. Analisis semacam ini absen dari pertimbangan kebijakan pembangunan karena dianggap kurang ‘ilmiah’ dan ‘pasti’ oleh pemerintah dan perencana pembangunan.

Dalam negara Indonesia yang developmentalistik hari ini, model ilmu pengetahuan yang bercorak teknokratik telah menjadi fundamen utama. Dalam konteks ini, negara dengan segera menaruh perhatian dan penghargaan kepada model pengetahuan macam ini akibat kesesuaiannya dengan kepentingan negara (termasuk pasar). Ilmu pengetahuan teknokratik ini dianggap mampu secara langsung memberikan solusi ‘siap pakai’, memosisikan diri netral, dan tidak menaruh atensi terhadap kekuasaan (apolitis).

Hal ini tidak berlaku dalam ilmu pengetahuan kritis. Mengingat pembangunan bukanlah sesuatu yang netral, ia mempunyai aktor perancang, maksud, kepentingan, dan dengan demikian tidak kedap politik—oleh karena itu ilmu pengetahuan kritis berusaha untuk memahami kelit-kelindan kekuasaan dan kepentingan yang beroperasi dalam segala aspek pembangunan. Marginalisasi ilmu pengetahuan kritis dalam pembangunan karena sifat dari model ilmu pengetahuan yang kedua ini cenderung mengambil posisi kritis untuk memahami pembangunan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bercorak teknokratik, ilmu pengetahuan berperspektif kritis dipersepsikan hanya menjadi penggugat alih-alih menawarkan solusi teknokratik ‘siap pakai’. Oleh karena sifatnya yang politis, ia dianggap tidak sesuai dengan kepentingan negara dan pasar.

Persis pada titik ini kita dapat melihat bahwa kekuasaan (aliansi negara dan pasar) mempunyai peran penting untuk memarginalisasi pengetahuan, atau apa yang lebih akrab dikenal sebagai praktik politik-pengetahuan. Singkatnya, dalam politik-pengetahuan, corak kekuasaan tertentu dapat menentukan ilmu pengetahuan macam apa yang dikehendaki dan apa yang tidak. Dalam perkembangan negara kapitalisme neoliberal, ilmu pengetahuan diharuskan untuk ramah terhadap pasar (market friendly) dan melayani kepentingan pasar (serve the market).

Secara khusus, Indonesia pernah mengalami politik-pengetahuan ini dalam negara Orde Baru yang bertindak secara selektif dalam ilmu pengetahuan: tentang apa yang harus diteliti dan apa yang tidak, paradigma dan disiplin apa yang mencapai posisi dominan dan mana yang marginal, ilmuwan mana yang ‘berpengaruh’ dan mana yang tidak dianggap. Sederhananya, menurut Hadiz & Dhakidae (2006), perkembangan sebuah ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan kebutuhan kekuasaan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, politik pengetahuan merupakan upaya kekuasaan untuk menentukan ilmu pengetahuan agar harus sesuai dengan kehendak dan kepentingan kekuasaan tersebut.

Sebagaimana studi politik komparatif yang dilakukan Curaming (2020) yang menganalisis penulisan sejarah resmi negara di bawah Orde Baru Soeharto yang dikenal sebagai Sejarah Nasional Indonesia (SNI), serta perbandingannya dengan Tadhana Project (serupa SNI) di Filipina di era Marcos, ia mendapati bahwa terdapat relasi saling menguntungkan (mutual need) atau partnership antara para sarjana dan aktor politik dalam pengerjaan kedua proyek ini. Hal ini menggambarkan situasi tentang ilmu pengetahuan yang selalu terkait erat dengan formasi dan dinamika kekuasaan, atau apa yang lebih dikenal sebagai Power/Knowledge dalam tradisi Foucaultdian.

Setelah pasca Orde Baru, negara Indonesia mengadopsi strategi pembangunan yang dipromosikan oleh proponen neoliberalisme utama (kalangan neoinstitusionalis) seperti IMF dan World Bank yang mempunyai landasan ilmu pengetahuan teknokratik seperti teori modernisasi dan modal sosial. Pada periode ini mereka mempromosikan pembangunan kelembagaan negara pasca otoriter untuk menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Dalam literatur ekonomi-politik, program yang dicanangkan oleh lembaga dunia ini disebut sebagai Post Washington Consensus.

Hal itu dapat kita lihat dalam proyek hegemoni neoliberal seperti Good Governance yang bertujuan untuk menata sistem kelembagaan negara ke arah yang lebih ramah terhadap pasar. Mereka percaya, desain kelembagaan yang baik serta tertib sosial dan politik dalam masyarakat dapat mendatangkan manfaat ekonomi dengan mengatur hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil ke arah yang harmonis (hal yang sebetulnya secara historis dan dialektis saling betentangan). Tetapi pada faktanya, mereka tidak pekah terhadap pengaruh kekuasaan (elite predatoris) yang tidak ingin proyek ini berjalan karena akan mengancam kepentingan predatorialnya (Hadiz: 2003).

Alhasil, apa yang dicita-citakan proyek tersebut selalu mendapatkan resistensi oleh elite-elite predatoris (politisi, pebisnis, dan birokrat) yang memanfaatkan lembaga dan sumber daya negara untuk kepentingan eksklusifnya. Mereka tetap mempertahankan formasi kekuasaan oligarkis dengan memperkokoh aliansi politik-bisnis (politico-business alliance) sambil membajak institusi-institusi demokrasi dari dalam (Robison & Hadiz: 2004).

Sifat dari proyek ini yang cenderung teknokratik dan apolitis membuat ia gagap ketika menyadari dominannya operasionalisasi kekuasaan. Walaupun pengaruh kekuasaan dalam penerapan Good Governance begitu nyata, kalangan neoinstitusionalis akan lebih cenderung menyalahkankan desain institusi yang tidak baik, penerapan yang tidak tepat, serta ketidakseriusan elite politik, dibanding menaruh atensi terhadap bekerjanya kekuasaan (Hadiz: 2003). Solusi-solusi teknokratik sekali lagi menjadi pilihan dibanding memperbaiki masalah utama.

Dalam konflik agraria di desa Wadas misalnya, dimana jantung persoalannya terletak pada resistensi masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah untuk menjadikan desa Wadas sebagai wilayah pertambangan. Hal ini dapat dipahami sebagai konstelasi kekuasaan antara negara yang berkepentingan menyelesaikan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan masyarakat yang mengalami dampak langsung dari pembangunan yang mengeksklusi. Hal yang seharusnya dilakukan adalah bukan untuk menawarkan warga agar mendengar pemaparan teknokrat mengenai pertambangan sebagaimana dianjurkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo disalah satu talk show TV swasta. Melainkan dengan segera mengakomodir apa yang telah menjadi tuntutan warga. Jadi harusnya adalah menyelesaikan jantung persoalan tentang bagaimana harusnya pemerintah sebagai kekuasaan dominan tidak bersikap eksklusioner terhadap masyarakat atas dasar pembangunan, bukan menawarkan solusi teknokratik sembari membiarkan konflik warga dan aparat negara terus terjadi dan menpertahankan bentuk pembangunan yang mengeksklusi.

Dimensi anti-politik dalam pembangunan neoliberal tersebut dapat dilihat dengan begitu marginalnya teori-teori sosial dan ekonomi-politik kritis. Seperti sudah disinggung diawal, model ilmu yang demikian tidak mendapatkan tempatnya dalam proyek ini karena kemampuannya untuk menyingkap motif kekuasaan, ideologis, dan ekonomi-politik dibalik proyek tersebut. Sedangkan pengetahuan berbasis teknokratik dianggap lebih ‘relevan’ dan mampu secara praktis untuk mengatasi hambatan pasar.

Mereduksi yang Politis Menjadi Teknikalitis

Masalah yang penting dalam ilmu pengetahuan teknokratik terletak pada tendensi antipolitical yang terkandung di dalamnya. Ia mereduksi masalah yang sebenarnya politis menjadi konversi angka-angka statistik, teknikalisasi masalah, dan berbagai macam solusi teknokratik.

Nampaknya pendapat dari James Ferguson tentang Anti-Political Machine berguna untuk menjelaskan hal ini. Ferguson di dalam “The Anti-Politics Machine: ‘Development’, Depoliticization and Bureaucratic Power in Leshoto” (1994) mencoba memahami bagaimana program-program pembangunan sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari formasi dan pengaruh kekuasaan. Ferguson telah berperan melahirkan studi-studi pembangunan kritis dan menginspirasi sarjana seperti Tania Li (2012), Ben Fine (2002), John Harris (2002), Toby Carrol (2009) untuk melakukan studi serupa sebagai kritik terhadap paradigma maupun praktik pembangunan dominan.

Anti-Political Machine merupakan proses depolitisasi ‘pembangunan’. Melalui kerja mesin ini, hal yang politis secara sengaja ataupun tidak disingkirkan dari pertimbangan, dan sebagai gantinya proses teknikalisasi kebijakan dipilih sebagai instrumen yang lebih sesuai dengan ‘pembangunan’, walaupun hal yang politis secara nyata telah terpampang di dalamnya.

Para aparat ‘pembangunan’ (para teknokrat) bertindak sebagai ‘dokter-pembangunan’ yang bertugas mendiagnosa ‘penyakit’ yang ada dalam proses ‘pembangunan’, dan menawarkan resep-resep ‘pembangunan’ yang dianggap mujarap. Walaupun secara jelas diketahui bahwa ‘penyakitnya’ adalah hal yang sifatnya politis, para ‘dokter-pembangunan’ tidak akan memasukkannya dalam diagnosa. Dalam kerja Anti-Political Machine, sederhananya, yang politis disingkirkan oleh yang teknis.

Proses ‘pembangunan’ yang berorientasi pada teknikalisasi kebijakan ini tak ayal sebagai sebab gagalnya pembangunan. Kegagalan pembangunan akhirnya menyediakan jalan bagi perluasan kontrol birokratik dan politik dari pemerintah. Oleh karenanya, setiap ‘pembangunan’ selalu membawa serta instrumen kekuasaan bahkan yang sifatnya opresif sekalipun. Siapa yang melawan proses pembangunan akan langsung berhadapan dengan kekuatan opresif ini.

Depolitisasi dalam pembangunan, bahkan dengan cara yang paling opresif sekalipun, merupakan konsekuensi logis dari penerapan pembangunan yang menuntut seluruh entitas masyarakat untuk patuh dan menerima. Resistensi yang muncul dari masyarakat akan disusul oleh penggunaan kekuatan koersif sebagai bentuk pendisiplinan paling brutal. Tercerabutnya masyarakat sebagai produsen dari alat produksi akibat akumulasi primitif yang demikian akan menjadi realitas konkret dalam pembangunan neoliberal.

Sedangkan, implikasinya terhadap ilmu sosial langsung bisa diketahui disini: bahwa marginalisasi terhadap ilmu sosial kritis tidak terlepas dari setting ekonomi-politik arus utama, yakni neoliberalisme yang membutuhkan perangkat pengetahuan yang sifatnya teknokratik untuk mendukung proses efisiensi pembangunan a la neoliberalisme beserta cara-cara koersif yang dikehendaki.

Alih-alih mengkonsentrasikan pemahaman kepada hal yang lebih struktural, Anti-Political Machine dan para teknokratnya tenggelam dalam resolusi praktis berdasar ilmu-ilmu teknokratis yang pro-pasar.

Lewat gambaran situasi politik-pengetahuan seperti itu, maka sangat penting untuk mengarusutamakan ilmu sosial kritis serta studi pembangunan kritis. Jika selamanya khazanah keilmuan sosial masih di dominasi oleh perspektif teknokratik, maka ilmu sosial akan menjadi pembenaran epistemologis bagi ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang bersemayam dalam proses pembangunan neoliberal. Hal ini membutuhkan komitmen para sarjana yang harus memposisikan dirinya tidak terserap dalam episentrum kekuasaan dominan, dan menjadi pembenar atas kekuasaan dominan.

Sumber
Hadiz, R. Vedi & Daniel Dhakidae (ed). 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Equinox Publishing Indonesia & Ford Foundation: Jakarta.

Hadiz, R. Vedi. 2003. Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-institusionalism Perspective. Southeast Asia Research Centre Working Paper Series, City University of Hong Kong, No. 47, Mei 2003.

Robison, Richard & Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of Markets. Routledge: London.

Curaming, Rommel A. 2020. Power and Knowledge in Southeast Asia: State and Scholars in Indonesia and Filiphines. Routledge: New York.

Ferguson, James. 1994. The Anti-Politics Machine: ‘Development’, Depoliticization and Bureaucratic Power in Lehoto. University of Minnesota Press: Minneapolis.

Li, Tania Muray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonedia. Marjin Kiri: Jakarta.

Fine, Ben. 2002. The Developmental State is Dead—Long Live Social Capital?. Development and Change 30, hal. 1-19.

Harris, John. 2002. Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital. Anthem: London.

Carrol, Toby. 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and The Kecamatan Development Programe in Indonesia. Development and Change 40 (3), hal. 447-466.

  • Bagikan
Exit mobile version