Menepis Stigma Buruk Cap Tikus

  • Bagikan
Yosua R Sinaulan

Oleh: Yosua R. Sinaulan (Anak Petani Cap Tikus)

Cap Tikus merupakan hasil budaya orang Minahasa. Cap Tikus lahir sebagai anugerah sang pencipta bagi masyarakat Minahasa dan menjadi komoditas pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat Sulawesi Utara dan suku Minahasa pada khususnya. Cap Tikus adalah minuman beralkohol tradisional Minahasa dari hasil fermentasi dan destilasi Air Nira dari Pohon Aren (pinnata) (Wikipedia, 2022). Sebelumnya salah satu produk kearifan lokal ini disebut Sopi, namun sebutan Sopi berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi Perang Jawa, sebelum tahun 1829, Sopi diisi dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Sopi dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam, Manado, dan hingga kini Cap Tikus terus dikembangkan, dikelola turun-temurun dan menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Minahasa.

Cap Tikus Sebagai Hasil Budaya Yang Harus Dilestarikan

Sejak dulu Cap Tikus sudah menjadi ikon yang melekat pada masyarakat Minahasa. Minuman ini dikonsumsi juga oleh para bangsawan pada zaman kolonial Belanda. Boleh dikata bahwa Cap Tikus sebagai maha karya pribumi. Suatu karya yang harus dikembangkan serta dilestarikan.

Di Minahasa, ada satu cerita sejarah tradisi dalam upacara naik rumah baru, yaitu para Penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati Dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng. Tuan rumah harus menyodorkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru sambil penari menyanyi “tuasan e sopi e maka wale”, artinya tuangkan Cap Tikus wahai tuan rumah. Lewat cerita sejarah tersebut tradisi budaya dan unsur-unsurnya adalah aset daerah yang sudah menjadi kearifan lokal serta perlu dilestarikan sebagai hasil budaya.

Memproduksi produk lokal Cap Tikus sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Minahasa pada umumnya. Produksi tradisionalnya dilakukan mulai dari tahap yang paling awal orang Minahasa menyebutnya dengan budaya “Batifar” dilakukan di pohon Enau yang oleh masyarakat Minahasa menyebutnya “pohon Seho”. Ada satu hal unik dari budaya batifar, sementara para petani melakukannya saat bersamaan pula mereka menyanyikan lagu-lagu bahasa daerah atau orang desa menyebutnya dengan lagu-lagu “bahasa tana”, para petani ini menyanyi dengan maksud menikmati pekerjaan yang mereka lakukan. Menurut para petani, menyanyi sambil bekerja berarti bekerja dengan senang hati”.

Beberapa tahapan yang harus dilakukan hingga Cap Tikus menjadi sebuah produk budaya. Diawali dengan proses batifar dan diakhiri dengan penyulingan dengan langkah-langkah sebagai berikut,

  1. Dengan lilang (parang) sangat tajam, mayang pohon seho diketuk untuk merangsang air niranya. Proses pengetukan sebanyak tiga sampai empat hari agar nira banyak dan bagus. Nira yang digunakan dalam pembuatan Cap Tikus harus asam. Nira yang manis sering didiamkan sehari agar asam, kemudian disuling.
  2. Proses penyulingan dilakukan di tungku yang disebut porno. Dibakar menggunakan kayu api. Wadah untuk penyulingan nira aren adalah drum besar. Dibutuhkan sekitar satu sampai dua jam untuk proses penyulingan. Enam galon nira atau sering disebut saguer, hanya menghasilkan satu galon Cap Tikus.
  3. Pada saat penyulingan, dua botol Cap Tikus hasil penyulingan pertama memiliki kadar di atas 45 persen. Itu disebut cakram. Yang paling enak dan paling keras kadarnya. Beberapa botol setelahnya, kadarnya tinggal 30 sampai 20 persen. (Wikipedia, 2022)

Mulai dari tahap batifar sampai pada proses penyulingan petani melakukannya dengan cara serba tradisional dan ini menjadi ciri khas suatu unsur budaya. Sebagai produk tradisional Cap Tikus sudah selayaknya dilestarikan.

Cap Tikus Sumber Mata Pencaharian Warga

Sejak dahulu orang Minahasa mengenal Cap Tikus bukan hanya sebagai minuman beralkohol saja tetapi juga sebagai produk lokal yang dijual dan menjadi mata pencaharian masyarakat. Para petani dan pengusaha memproduksi Cap Tikus menjadi produk jualan yang menghasilkan uang bagi mereka. Sebagai contoh masyarakat desa Malola di Kecamatan Kumelembuai, Kabupaten Minahasa Selatan. Menurut cerita warga “Sudah sejak dulu Cap Tikus menjadi mata pencaharian unggulan. Produk tersebut dijual keluar desa walau nominal harganya pada waktu itu sangat kecil tapi bisa menghidupkan keluarga dan menyekolahkan anak dan cucu mereka. Apapun yang mereka bangun di desa sudah pasti ada uang hasil penjualan Cap Tikus. Mulai dari swadaya untuk membangun gedung sekolah dan gedung gereja yang ada di kampung tersebut”. Kondisi serupa yang terjadi sampai sekarang. Cap Tikus menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat Desa Malola, dimana mayoritas masyarakat desa adalah petani Cap Tikus.

Sejarah mencatat Desa Malola telah melahirkan ratusan sarjana hanya karena hasil produksi Cap Tikus yang dikelola turun temurun, sehingga produk lokal ini sudah menjadi komoditas pertanian yang menghasilkan uang dan sangat berpengaruh bagi jalannya perekonomian desa.

Cap Tikus Bukan Penyebab Pelanggaran Hukum/Kejahatan

Dibalik kekuatan produk Cap Tikus yang sudah ratusan tahun menghidupi begitu banyak masyarakat Minahasa, Tak serta-merta sedikit yang menolak adanya produk hasil budaya dengan nilai kearifan lokal yang begitu kental tersebut. Buktinya Cap Tikus sering ternodai oleh kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang. Sebut saja perkelahian antar kelompok, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan sampai pada pembunuhan, Cap Tikus-lah yang disalahkan atau sering disebut sebagai akar permasalahan. Tapi faktanya, Cap Tikus yang dikambing hitamkan. Padahal, bukankah akar permasalahan itu adalah cinta uang ? Sebut saja para koruptor yang merusak negara dan membunuh cita-cita anak bangsa karena kerakusan mereka.

Jika dilihat dari sisi lain, ada fakta mencengangkan di daerah tempat Cap Tikus lahir yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Tidak sedikit minuman-minuman beralkohol yang diimpor dari daerah lain bahkan luar negeri dan bebas diperjualbelikan. Sedangkan Cap Tikus dilarang pengedarannya di tanahnya sendiri. Memang hal ini dikarenakan belum adanya pengakuan dari pemerintah dan perlindungan hukum akan produksi Cap Tikus ini. Dalam beberapa kasus Cap Tikus sering dikambing hitamkan terhadap pelanggaran dan tindak kejahatan di Sulawesi Utara, padahal motif dan kejahatan yang terjadi hanya dilakukan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus tindak kriminal, sering pula pelanggaran tersebut terjadi akibat mengonsumsi minuman beralkohol yang diimpor dari luar daerah. Akan tetapi sebuah tindakan kejahatan bukan semata-mata terjadi akibat dari produk beralkohol saja tapi niat dan kesempatan dari oknum-oknum saja. Pola mindset dan sudut pandang akan Cap Tikus sebagai dalang kejahatan mungkin keliru, Cap Tikus hanyalah sesuatu yang dimanifestasikan oleh emosi seseorang sebagai dalang pelanggaran hukum.

Urgensi Perlindungan Hak Petani dan Pengusaha Cap Tikus

Akhir-akhir ini sering terjadi penangkapan terhadap pengusaha Cap Tikus oleh para oknum yang mengatasnamakan penegak hukum. Kejadian tersebut memukul hati para petani karena mereka bergantung pada pengusaha yang mengekspor hasil alam tersebut untuk menghidupi keluarga. Dampaknya, para petani terancam kehilangan mata pencaharian. Petani serta pengusaha Cap Tikus ini sering menjadi incaran aparat kepolisian, di lain sisi berbagai minuman alkohol diimpor dari luar beredar bebas di tanah Minahasa dan di Sulawesi Utara pada umumnya. Pertanyaannya apakah ini adil untuk para petani Cap Tikus? Apakah petani dan pengusaha Cap Tikus akan selalu menjadi target sasaran aparat kepolisian? Di mana peran negara khususnya pemerintah daerah setempat untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyatnya ?. Para petani butuh dilindungi. Itu hak petani sebagai warga negara. Dan perlindungan tersebut menjadi suatu keharusan pemerintah berdasarkan tujuan negara dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum, dalam hal ini kesejahteraan petani Cap Tikus. Dengan demikian sejatinya pemenuhan hak petani tersebut harus dimanifestasikan dengan aturan turunan yang bisa mengakomodir kepentingan hak petani dan pengusaha Cap Tikus pada umumnya. Harus ada produk hukum yang responsif yang dapat mengakomodir aspirasi masyarakat dalam penyelesaian konflik vertikal antara masyarakat dan negara.

Captikus sebagai kearifan lokal Minahasa sudah mendarah daging dengan masyarakat Minahasa pada umumnya. Cap Tikus merupakan komoditas pertanian yang turun-temurun dilestarikan masyarakat Minahasa. Stigma buruk Cap Tikus adalah senjata pembunuh rakyat, lewat stigma buruk tersebut para pengusaha dan petanilah yang menjadi korban sehingga berdampak bagi kelangsungan hidup masyarakat. Satu hal penting adalah perlu adanya perlindungan dan pengakuan hukum atas petani Cap Tikus sebagai masyarakat adat karena Cap Tikus sudah menjadi komoditas pertanian masyarakat suku Minahasa dan menjadi mata pencaharian masyarakat Minahasa pada umumnya.

Cap Tikus bukanlah dalang pelanggaran tapi Cap Tikus hanyalah sesuatu yang dimanifestasikan oleh emosi seseorang sebagai penyebab terjadinya tindak kejahatan.

Hidup Rakyat! Hidup Petani Cap Tikus! *

  • Bagikan
Exit mobile version