Hapuskan PPn Hasil Pertanian (Cengkih) Untuk Mengembalikan Kesejahteraan Petani Cengkih Sulawesi Utara

  • Bagikan
Immanuel Runtuwene (foto istimewa)

Oleh: Immanuel Runtuwene (Sekertaris Fungsional Organisasi Komisariat Politeia)

Cengkih merupakan komoditas utama bagi beberapa petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia) serta pengusaha kecil di barbagai daerah di Indonesia, khususnya beberapa daerah yang tersebar di Sulawesi Utara. Berbicara tentang anjloknya harga jual cengkih, pastinya tidak lepas dari kesejahteraan petani yang memanfaatkannya sebagai penghasilan utama dalam mendongkrak perekonomian keluarga.

Harga cengkih saat ini terkoreksi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) hasil pertanian yang dikenakan pemerintah pusat.

Menerawang dari harga jual cengkih, akhir-akhir ini harga jual komoditi tersebut sangat memberatkan para petani cengkih dengan harga jual yang tidak relevan dengan biaya produksi, akibatnya beberapa petani mengurungkan niat untuk panen.

Dinamika Rumit PPn Cengkih

Seperti yang kita ketahui bersama, para petani cengkih dan pedagang perantara cengkih rata-rata kurang memahami/tidak mengetahui laporan pajak yang menghambat ini secara administratif, yang mengakibatkan beberapa pedagang perantara/penampung berhenti berdagang dikarenakan PPn yang memberatkan dan menghambat ini. Hal tersebut merupakan salah satu faktor terbesar menurunnya harga jual hasil bumi (cengkih) tersebut.

Dengan demikian mengetahui perlakuan PPn atas barang hasil pertanian di Indonesia menjadi suatu hal yang penting dan menarik. Dinyatakan penting karena meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto hanya sekitar 13% tetapi sektor pertanian menyangkut kehidupan rakyat banyak.

Berdasarkan PMK No. 89/PMK.010/2020, tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu menyimpulkan bahwa hasil pertanian merupakan barang kena pajak yang diserahkan oleh kelompok petani kepada pembeli dengan peredaran usaha di atas Rp4,8 miliar. Atas penyerahan ini pajak hasil pertanian dikenakan PPn dengan tarif 10% dari harga jual.

Atas kerumitan serta ketidakpahaman secara administrasi para pedagang perantara dalam membuat laporan pajak tersebut-lah yang mengakibatkan para petani besar dan pedagang perantara berhenti berdagang dan hanya pabrik saja yang membeli. Jikalau pabrik turun produksi atau gudang penuh, otomatis berdampak terhadap anjloknya harga jual komoditi tersebut, dan jikalau PPn terhadap hasil pertanian pada umumnya, hasil cengkih pada khususnya masih diberlakukan, pasti para pedagang perantara akan mengurungkan niat membeli dan takut untuk menampung cengkih.

Kejayaan Cengkih Dan Kesejahteraan Petani

Menerawang kembali pada masa kejayaan cengkih di Indonesia, terlebih khusus Sulawesi Utara, karena harga cengkeh yang selalu tinggi, banyak petani cengkeh hidup makmur. Di sekitar Manado, Sulawesi Utara, penjualan mobil turut naik seiring perekonomian petani cengkeh yang membaik.“Akhir tahun 1970an, jual 250 kilogram cengkeh kami sudah bisa beli mobil Datsun,” kata Yan Kolinug, seorang petani cengkeh di Wioi, Ratahan, Minahasa, Sulawesi Utara, seperti tertulis dalam buku Ekspedisi Cengkeh(2013). Hal itu sulit terulang kembali di masa-masa berikutnya. Di masa ketika jaya itu, selain beli mobil, Yan bisa beli tanah juga.

“Penjualan (mobil) yang sempat mengalami booming terjadi pada tahun 1980 dan 1981. Hal ini disebabkan waktu itu Manado mengalami panen raya cengkeh,” aku Subronto Laras dalam Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia(2005:426).

Harga cengkeh kala itu Rp15 ribu per kilogram. Saat itu nilai tukar satu dolar masih Rp220, dan harga satu gram emas sekitar Rp9 ribu. Jika petani cengkeh bisa makmur, coba bayangkan betapa banyak duit membanjiri kantong pengusaha impor seperti Probosutedjo.

Berkaca dari yang telah terjadi pada tahun 2002, tepatnya pada bulan juli, dimana harga jual cengkih di Indonesia sangat anjlok hingga menyentuh angka  Rp.15.000/kg, dimana sempat lonjak harga dari Rp.3.800/kg pada tahun 1997 dan setelah rezim orba, Soeharto tumbang, BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh) pun dibubarkan, menjadi

Rp.60.000/kg pada tahun 2001. Hampir 1 dekade terakhir ini, kita merasakan hal yang hampir menyerupai yang terjadi sekitar 20-an tahun yang lalu. Dimana harga jual cengkih pada tahun 2014 berada pada kisaran Rp.175.000/kg – Rp. 200.000/kg, dan merosot pada sekitar 3 tahun terakhir hingga harga jual terendah menyentuh angka sekitar Rp. 50.000/kg – Rp. 60.000/kg di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Sulawesi Utara.

PPn Hasil Pertanian Salah Sasaran

Pada kasus ini, untuk mengembalikan kejayaan cengkeh di Indonesia pada umumnya dan untuk meningkatkan kembali harga cengkeh di Sulawesi Utara pada khususnya, kebijakan pemerintah dalam membuat kebijakan PPn yang dimaksud harus dihapuskan karena dinilai salah kaprah, dimana cengkeh sebagai hasil perkebunan rakyat yang merupakan raw material, sebenarnya belum pantas dikenakan PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Yang seharusnya dikenakan PPn adalah barang distribusi dari petani/pedagang perantara (cengkeh) telah diproduksi menjadi rokok oleh perusahan rokok, sama halnya saat kopra telah diproduksi menjadi minyak.

Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey mengatakan “Tak hanya cengkih, hasil pertanian diluar kebutuhan strategis juga terkena dampak tersebut. Contohnya, pala, kopra, bawang, cabai, dan tomat akan kena PPn jika usahanya menyentuh angka diatas 4 miliar”. Yang dilansir (TRIBUNMANADO.CO.ID, Manado, 2020).

Kekuatan Cengkih Pada Perekonomian Masyarakat Dan Desa

Cengkih merupakan salah satu primadona di Sulawesi Utara dan komoditas utama dari beberapa petani dan pengusaha yang tersebar di Sulawesi Utara.

Beberapa masyarakat dan desa di Sulawesi Utara juga sangat merasakan dampak positif dari keberadaan mahakarya Sang Maha Kuasa lewat hasil bumi ini.

Desa Suluun, Kecamatan Suluun Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, merupakan contoh nyata desa yang menjadi besar lewat pengaruh dari kekuatan komoditi ini, yang dijadikan sebagian besar warga desa Suluun sebagai komoditas utama atau sumber penghasilan/mata pencararian utama mereka.

Menurut catatan historis, desa Suluun adalah desa yang paling muda di Kecamatan Suluun Tareran, karena merupakan desa yang paling terakhir berdiri diantara desa-desa yang merupakan bagian dari Kecamatan tersebut. Seiring berjalannya waktu, secara geografis, desa Suluun menjelma menjadi desa yang memiliki wilayah terluas dan menjadi sentral dari Kecamatan tersebut. Adapun bangunan bersejarah kebanggaan desa Suluun, yaitu balai desa Suluun 2, yang dibangun pada tahun 1978 dan menjadi balai desa terbesar se-Indonesia di wilayah timur. Ribuan anak-anak, remaja, dan pemuda desa bisa mendapat pendidikan yang layak, serta ratusan sarjana  berasal dari desa Suluun juga lahir berkat dampak besar hasil pertanian cengkih yang secara tidak langsung meningkatkan secara pesat perekonomian desa serta meningkatkan strata sosial masyarakat desa Suluun.

Desa Suluun juga pernah dikenal sebagai Kampung Dollar karena pernah menjadi desa dengan penghasilan terbesar di Indonesia. (wikimapia.org. 2011)
Terlalu indah untuk dilupakan.

Itu semua terjadi tidak lain karena pengaruh positif dari kekuatan yang besar komoditi cengkih yang sampai sekarang merupakan roda perekonomian desa tersebut.

Merupakan gambaran kecil yang sangat jelas mengapa kebijakan PPn tersebut harus dihapuskan guna mengembalikan kesejahteraan petani cengkih di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara.

Di atas kebijakan, ada kebijaksanaan!

HIDUP RAKYAT !!! *

  • Bagikan
Exit mobile version